ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

YAA ALLAH DENGAN PERTOLONGANMU KAMI MEMOHON
BERILAH KAMI KEKUATAN LAHIR DAN BATHIN UNTUK MAMPU MERAIH RIDLAMU..

Jumat, 13 Mei 2011

BANCAKAN LAGI ???



Segala puji bagi Allah SWT, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah saw memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits: “Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah saw ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang berklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah saw telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah saw dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata: “…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279) 

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember. Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanati generasi setelah kita ketika islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”. 

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang ‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)
Dari Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi”.
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah”.
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam: “Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi SAW, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.
” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718) Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) 
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab ‘Ianah, ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA EMPAT MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN:

I. MADZHAB HANAFI:

HASYIYAH IBN ABIDIEN

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

AL-THAHTHAWY

Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).

IBN ABDUL WAHID SIEWASY

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)

II.MADZHAB MALIKI:

AL-DASUQY

Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)

ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

III.MADZHAB SYAFI’I:

AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)

AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)

AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)

RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

IV. MADZHAB HAMBALI:

IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY

Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)

ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

Kamis, 05 Mei 2011

Agar Perbedaan Menjadi Rahmat

Sejak masa awal-awal Islam, kaum Muslim sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Di masa Nabi SAW, misalnya, para sahabat kadang-kadang berbeda pendapat dalam menginterpretasikan sabda Nabi SAW. Imam Bukhari dan Muslim mendokumentasi-kan perbedaan penafsiran para sahabat terhadap sabda Nabi SAW, "Janganlah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraidlah" (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Di antara sahabat ada yang memutuskan untuk shalat di per-jalanan karena khawatir waktu Ashar segera habis, sedangkan yang lain berpendapat tidak akan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidlah meskipun waktu Ashar sudah lewat. Nabi SAW tidak mencela salah satu di antara keduanya.

Di masa Khalifah Abu Bakar ra, beliau pernah berdebat de-ngan Umar bin Khaththab ra mengenai sanksi atas orang-orang yang menolak zakat (maa-ni' al-zakat). Pada masa 'Umar bin Khaththab ra, beliau berbeda pendapat dengan sebagian sahabat mengenai status tanah Khaibar. Sebagian sahabat, se-perti Bilal bin Rabbah ra, menginginkan agar tanah Khaibar dibagi-bagikan kepada kaum Muslim. Sedangkan 'Umar bin Khaththab ra berpendapat tidak membagi-bagikan tanah Khaibar kepada kaum Muslim. Alasannya, tanah Khaibar termasuk harta fai' yang dimiliki oleh seluruh kaum Muslim hingga akhir zaman.

Khazanah pendapat dan pemikiran di dalam Islam semakin kaya, tatkala para ulama ber-hasil menyusun sejumlah disiplin ilmu dan menggariskan metodologi istinbath (penggalian hukum) yang khas. Muncullah kemudian masa keemasan fikih Islam yang ditandai dengan munculnya ulama-ulama madz-hab yang mengembangkan fikih berdasarkan metodologi istinbath masing-masing. Akibatnya, keragaman pendapat dalam ranah fikih semakin meluas dan melebar.

Sejarah telah mencatat, walaupun kaum Muslim berbeda pendapat dalam banyak persoalan (furu'), mereka tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah akidah. Selain itu, dalam batas-batas tertentu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' tidak pernah menyulut terjadinya perselisihan dan per-musuhan di antara mereka. Mereka hidup rukun dan berdam-pingan secara harmonis di te-ngah runcingnya perbedaan pendapat. Pasalnya, mereka masih memiliki tsaqafah dan kesadaran politik yang tinggi, hingga tidak mudah diprovokasi oleh isu-isu khilafiyyah. Selain itu, mereka juga masih memiliki khalifah yang siap memutuskan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah mereka.


Tetapi, seiring dengan lemahnya tsaqafah dan kesadaran politik umat Islam, keragaman pendapat dalam masalah khilafiyyah telah menyeret mereka ke dalam perselisihan dan permusuhan. Keragaman tidak lagi menjadi kekayaan dan rahmat, namun justru menjadi sumber kehancuran dan kebinasaan. Ti-dak hanya itu saja, khilafiyyah juga dijadikan celah oleh musuh-musuh umat Islam untuk meng-hancurkan kesatuan dan persa-tuan kaum Muslim. Untuk itu, umat Islam harus dipahamkan kembali mengenai ketentuan Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat. Ini ditujukan agar umat Islam tidak lagi terjebak dalam persoalan-persoalan khilafiyyah yang dalam banyak hal justru telah merugikan mereka.

Ketentuan penting yang berkaitan dengan penyikapan terhadap perbedaan pendapat adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam per-kara-perkara yang ditetapkan nash-nash qath'iy (pasti), seperti perkara-perkara akidah, ushul al-ahkam, dan lain sebagainya. Islam tidak mentoleransi siapa saja yang berbeda pendapat dalam perkara-perkara qath'iy. Sedangkan perkara-perkara yang ditunjukkan dalil-dalil dzanniy, maka Islam telah mem-berikan keluasan kepada kaum Muslim untuk berijtihad dan berbeda pendapat, asalkan tetap dalam batas-batas yang diakui dan dibenarkan. Seorang Muslim harus menghormati pendapat saudaranya dan tidak berusaha menikam atau mendiskreditkan pendapat-pendapat lain.  Lebih-lebih lagi, seorang Muslim dila-rang menyematkan predikat kafir, fasiq dan sesat kepada saudara Muslimnya hanya gara-gara berbeda pendapat dengan dirinya.

Kedua, setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil mu'tabar, yakni Alquran, as-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas, atau jika tidak bisa juga dengan syubhat dalil, tentu bagi yang menggunakannya. Pendapat yang tidak didasarkan pada dalil-dalil syariat atau syubhat dalil, maka tidak dianggap sebagai pendapat Islamiy (ra'yu al-islaamiy). Alquran telah me-nyatakan hal ini dengan tegas. Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturun-kan kepadamu dari Rabbmu (Tuhanmu), dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kami mengambil pelajaran (daripada-nya).” (TQS al-A'râf [7]: 3).


Ketiga, jika terjadi perbe-daan pendapat, harus dikembali-kan kepada Alquran, Sunnah, dan apa yang ditunjuk oleh keduanya, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. Bukan dikembalikan kepada keinginan dan hawa nafsu, gengsi, status quo, atau tendensi-tendensi politis. Alqur-an menyatakan hal ini dengan sangat jelas pula:
“Kemudian jika kamu berla-inan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan rasul-Nya (sunnah).” (TQS an-Nisâ' [4]: 59).


Keempat, jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya rajih (kuat) berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.
Kelima, kaum Muslim juga diperkenankan mendiskusikan perkara-perkara khilafiyyah un-tuk mencari pendapat yang paling rajih. Hanya saja,  diskusi tersebut tidak boleh menyulut permusuhan, perselisihan, dan berbantah-bantahan yang justru menyebabkan lemahnya kaum Muslim. Alquran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“…Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang me-nyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan ber-sabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. al-Anfâl [8]: 46).

Inilah ketentuan-ketentuan umum yang harus diperhatikan kaum Muslim dalam menyikapi perbedaan pendapat di tengah-tengah kaum Muslim. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menjadikan perbedaan pendapat menjadi rahmat bagi selu-ruh umat. Wallahu al-Musta'an wa Huwa Waliyu al-Taufiq.[]
 
copy-paste dari :
http://jendelaperadaban.blogspot.com/

Risalah Seputar Mimpi

Mimpi adalah suatu keadaan di mana manusia mengalami suatu kejadian yang memberikan gambaran kehidupan lain yang terkadang bisa memberikan makna dalam kehidupan sesungguhnya. Dan ini dialami oleh setiap individu yang terobsesi untuk melakukan tindakan yang terekam di alam bawah sadar, sehingga memunculkan banyak fenomena pemikiran yang mendominasi pikiran manusia saat dia terlelap di dalam tidurnya.
Mimpi bisa jadi isyarat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya berupa berita baik ataupun buruk, dan mimpi ada yang memiliki makna, ada pula yang berupa mimpi kosong sekedar permainan syaithan terhadap manusia.
Al Qur’an dan As Sunnah telah memberikan penjelasannya dengan penjelasan yang bisa dijadikan pegangan dan patokan oleh setiap orang yang mengalami hal ini.
Namun yang perlu kami ingatkan bahwa mimpi tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam arti, dengan mimpi ini seseorang tidak boleh menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, mengamalkan atau meninggalkan salah satu ibadah. Tidak. Jangan seperti sekelompok kaum sufi yang jahil, yang karena mimpi melihat dia menyembelih anaknya, demikian juga beberapa orang lainnya, lalu mereka beramai-ramai menyembelih anaknya.
Atau seperti yang diceritakan dari salah seorang tokoh mereka bahwa dalam keadaan setengah terjaga diberi tugas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjalankan tarekat ini dan itu. Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang nyata. Dan kami ingatkan pula dengan satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi:
“Apabila zaman semakin terasa dekat (waktu terasa singkat), hampir-hampir mimpi seorang mukmin tidaklah berdusta, dan yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”
Pembagian Jenis Mimpi
Mimpi itu ada tiga jenis:
1. Mimpi yang baik, sebagai berita gembira (busyra) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan satu bagian dari 46 bagian dari kenabian (nubuwwah).
2. Mimpi yang buruk, sebagai gangguan syaithan untuk menyusahkan Bani Adam dan mempermainkannya di dalam mimpinya.
3. Mimpi karena bisikan jiwa sendiri atau keinginannya di waktu terjaga, lalu dilihatnya di dalam mimpi, termasuk juga kebiasaannya ketika dia dalam keadaan jaga. Seperti seseorang yang biasanya makan ketika itu, lalu dia tidur dan melihat dalam mimpinya dia makan. Atau seseorang bermalam dalam keadaan kekenyangan, lalu dia lihat dalam mimpi bahwa dia muntah.
Adapun selain itu adalah mimpi-mimpi kosong, tidak berarti dan campur aduk. Mimpi yang seperti itu tidak dapat ditakwilkan karena kacau dan tidak ada kaitannya dengan dasar-dasar ta’bir (tafsir) mimpi.
Adab-adab Bila Bermimpi
Bila mendapati mimpi yang baik, maka disunnahkan bagi yang melihatnya untuk menjalankan empat hal berikut ini, yaitu:
a. Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mendapatkannya.
b. Bergembira dengan mimpi itu.
c. Menceritakannya hanya kepada yang dia cintai.
d. Menafsirkannya dengan tafsir yang baik dan tepat, karena mimpi itu terjadi sesuai dengan apa yang ditafsirkan.
Sedangkan jika seseorang bermimpi buruk, maka disunnahkan bagi yang melihatnya untuk melakukan tujuh perkara, yang bila dia kerjakan maka mimpi itu tidak akan bermadharat baginya, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu:
a. Isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan mimpi itu.
b. Isti’adzah dari syaithan tiga kali (mengucapkan: A’udzu billahi minasy-Syaithanirrajiim, artinya saya berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk).
c. Meludah ke kiri tiga kali.
d. Mengganti posisi tidur. [1]
e. Menegakkan shalat.
f. Tidak menceritakannxa kepada siapapun.
g. Tidak menafsirkannya sendiri.
Adapun dalilnya adalah hadits-hadits yang mulia:
- Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang disukainya, maka itu adalah dari Allah, dan hendaklah dia memuji Allah serta menceritakannya. Dan kalau dia melihat yang selain itu, berupa mimpi yang tidak disukainya, maka itu dari syaithan, maka hendaklah dia memohon pertolongan (kepada Allah) dari kejahatannya dan jangan menyebut-nyebutnya, maka hal itu tidak akan memudharatkannya.”
- Dhkeluarkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian melihat mimpi yang baik, maka hendaklah dia tafsirkan dan dia ceritakan. Dan kalau dia mimpi yang buruk, maka janganlah dia tafsirkan dan jangan pula menceritakannya.” [2]
- Diriwayatkan oleh Syaikhain (Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim) dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, katanya:
“Sungguh saya pernah bermimpi kemudian saya sakit, hingga saya mendengar Abu Qatadah berkata: ‘Saya pernah bermimpi kemudian saya sakit hingga saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Mimpi yang baik datangnya dari Allah. Jika salah seorang dari kalian bermimpi sesuatu yang disukainya, maka janganlah diceritakannya kecuali kepada orang yang dicintainya. Dan jika dia bermimpi sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari kejelekkannya dan dari kejahatan syaithan serta meludah tiga kali, dan jangan menceritakannya kepada siapapun, karena hal itu tidak akan memberi madharat kepadanya.
- Dalam riwayat Al-Imam Muslim:
“Jika dia melihat mimpi yang baik, maka hendaklah dia bergembira dan jangan dia ceritakan kecuali kepada orang yang dicintainya.”
- Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang tidak disukahnya, maka hendaklah dia meludah ke kiri tiga kali, dan mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan tiga kali, kemudian dia mengganti posisi tidurnya.”
- Al-Imam Muslim meriwayatkan pula dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Maka apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang tidak disukainya, hendaklah dia berdiri dan menegakkan shalat, dan jangan menceritakannya kepada siapapun.”
Tanda-tanda untuk Mengenal Sebuah Mimpi
Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
1. Bersih dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang menakutkan dan meresahkan.
2. Dapat dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan duduk.
3. Tidur dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun. Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya (angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur dan dalam tidurnya dia mimpi sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan dan sebagainya.
4. Mimpi tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di dalam Lauhul Mahfuzh. Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun rapi yang sesuah dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).
Yang Kedua: Mimpi yang Diperbuat oleh Syaithan
Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan antara ahlam [3] yang merupakan mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.
Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia membiarkannya begitu saja.
Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [4]
Pembagian Golongan Manusia Menurut Mimpi
Telah kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:
1. Para Nabi
2. Shalihun (orang-orang shalih)
3. Masturun (yang tidak diketahui keadaannya)
4. Fasaqah (orang-orang fasik)
5. Kuffar (orang-orang kafir)
1. Mimpi para nabi
Mereka adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak diragukan lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur) ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.
2. Mimpi orang-orang shalih
Mereka berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”
Dan beliau juga bersabda:
“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwah).” (HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
3. Mimpi para masturin (orang yang tidak dikenal keadaannya)
Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.
4. Mimpi orang-orang fasik
Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.
5. Mimpi orang yang kafir
Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?
Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [5]
Larangan Berdusta Tentang Mimpi
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu melakukannya.” (HR. Bukhori no. 7042)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kedustaan yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat sesuatu padahal ia tidak melihatnya.” (HR. Bukhori no. 7043)
Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ali, Abu Hurairah, Abu Syuraih dan Watsilah radhiyallahu ‘anhum.
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran:
1. Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
2. Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan al-hulm bukan ru’ya [6]. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu berarti dari syaitan. [7]
Mimpi yang Sama
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda. [8]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar pada 7 malam terakhir…
Kata beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu. Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari satu kelompok.” [9]
Apakah Mimpi Itu akan Terjadi Segera setelah Dita’birkan?
Sebagian orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar. Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut, kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau peringatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:
[1] Kalau tadi dia tidur menghadap ke kiri dia ganti posisi menghadap ke kanan. Wallahu a’lam -pent.
[2] Dengan lafadz ini, tidak kami temukan dalam jami’-nya At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[3] Ahlam adalah bentuk jamak dari hulm yaitu mimpi yang tidak benar.
[4] Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108).
[5] Tafsir Al-Qurthubi, (9/124]
[6] Ru’ya adalah mimpi yang baik.
[7] Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/515-515.
[8] Tapi perlu diingat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan sumber hukum syariat atau amalan. Wallahu a’lam.
[9] Fathul Bari (12/380).
sumber : http://yaaukhti.wordpress.com/2011/03/24/risalah-seputar-mimpi/

Referensi:
1. Kamus Tafsir Mimpi (judul asli: Qamusu Tafsirul Ahlam) karya Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al ‘Anbari, alih bahasa oleh Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, penerbit: Pustaka Ar Rayyan.
2. http://alislamu.com/new/3269/larangan-berdusta-tentang-mimpi
Artikel terkait [http://fadhlihsan.wordpress.com/]:
1. Pedoman Bila Mimpi Bertemu Rasulullah
2. Mimpi Seorang Mukmin Sebagian dari Kenabian

copy-paste dari :
http://abuyahya8211.wordpress.com/

KITAB PRIMBON ADALAH SUMBER KESESATAN DAN KEMUSYRIKAN

Kamu yang doyan melototin layar kaca, kayaknya pernah deh nemuin iklan kayak gini: “Kamu kan lahirnya Selasa Kliwon. Tak cocok kerja di air. Harusnya berdagang.” Terus nyaranin penonton untuk kirim SMS ke nomor tertentu.
Bro, memang lucu juga ya? Menentukan nasib lewat primbon. Sangat boleh jadi orang yang dalam adegan di iklan sebagai pekerja yang hubungannya dengan air itu justru sukses di tempat yang menurut primbon tidak cocok dengan tanggal lahirnya. Bisa aja pernyataannya jadi begini: “Kamu ini lahirnya Selasa Kliwon. Nggak cocok kerja yang berhubungan dengan air, kecuali jadi direktur PDAM…” Hehehe…
Ngomongin soal primbon memang lucu abis sekaligus nggak abis pikir. Waktu saya SD juga ada tuh buku tentang primbon, tafsir mimpi di rumah orang tua saya. Tapi sejak kecil saya selalu nggak percaya karena banyak yang bertolak-belakang dengan kenyataan dan suka mengada-ngada. Ngarang, gitu lho.
Misalnya, ada orang yang diramal nasibnya berdasarkan tanggal kelahiran. Ada juga yang diramal rejekinya dengan indikator banyaknya bersin di jam tertentu, ada juga ukuran untuk menentukan jodoh dari tahi lalat dan seabreg tanda lainnya yang aneh-aneh banget yang dihubungkan dengan kepribadian atau nasib seseorang.
Jangan percaya primbon
Untuk memenuhi rasa penasaran manusia dalam hal yang supranatural dan serba ganjil, sering juga diciptakan mitos yang berkaitan dengan kejadian sehari-hari yang dialami dan ada di sekitar manusia itu sendiri. Lalu dihubung-hubungkan dengan kehidupan yang telah, sedang, atau akan dijalani oleh manusia itu sendiri. Intinya, segala sesuatu yang aneh atau dianggap aneh akan dihubungkan dengan nasib manusia di masa depan.
Meski sering tak masuk akal, banyak di antara kita yang tetep aja percaya atau mungkin ada yang setengah percaya terhadap ramalan tersebut. Maka, jangan heran jika para dukun, tukang ramal, tukang tenung tumbuh subur sesuai kaidah supply and demand. Jika permintaan tinggi maka penawaran juga tinggi, gitu lho. Kalo animo masyarakat kita yang percaya pada ramalan tinggi, maka tukang ramal dan dukun juga banyak. Malah ada yang mungkin saja pura-pura jadi dukun atau tukang ramal.
Itu sebabnya, di masyarakat kita berkembang juga mitos tentang ramalan nasib yang dihubungkan dengan kejadian di sekitarnya atau ada yang memvonis nasib seseorang dari tanda-tanda di tubuh, berdasarkan mimpi, bentuk wajah, garis tangan dan lain sebagainya. Maka, untuk menguatkan argumentasi asal-asalannya dibuat dalam bentuk buku. Sekadar tahu aja, di masyarakat Jawa misalnya, ada kitab yang sangat boleh jadi lebih sering dibaca ketimbang al-Quran, yakni kitab Primbon.
Misalnya aja nih, karakter orang bisa dilihat dari bibir (www.primbon.com pada pembahasan tentang tanda di tubuh). Bila bentuk bibirnya agak lebar, memiliki kepribadian pandai mengatur uang, sabar, dan agak berani. Bila bentuk bibirnya agak kecil, memiliki kepribadian suka berterus terang, berhati kecil dan sering menganggap dirinya tidak bahagia. Bila bentuk bibirnya agak besar dan terbuka (menganga), memiliki kepribadian suka mementingkan diri sendiri namun rela berkorban untuk orang yang disukai. Bila bentuk bibirnya agak tipis, memiliki kepribadian cepat terpengaruh, tidak mempunyai prinsip. Bila bentuk bibirnya agak dower, memiliki kepribadian selalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengalah. Bila bentuk bibirnya agak kecil dan agak sempit, memiliki kepribadian selalu bimbang dan tidak bisa mengambil keputusan dengan baik.
Apakah benar semua itu? Jawabannya bohong. Kalo pun kemudian ada yang mirip-mirip dengan apa yang ditulis dalam primbon tersebut, itu hanya faktor kebetulan. Karena apa? Sangat boleh jadi orang yang digambarkan dengan memiliki bibir dower justru kepribadiannya malah tidak mementingkan diri sendiri dan mau mengalah (bertolak belakang dengan penetapan yang asal-asalan itu). Iya kan?
Wadooohh.. lagian kalo kepribadian udah di-default kayak gitu di kitab primbon, jadinya nggak bisa ngerubah karakter dong ya? Buat apa ada sekolah kepribadian atau bermunculan trainer motivasi dan juga para ustad untuk memberikan pencerahan dalam kehidupan kalo dari bentuk fisik aja udah ‘divonis’ begini dan begitu dalam menentukan karakter seseorang. Iya nggak sih? Aneh-aneh aja deh ah.
BTW, ada yang lebih konyol tapi lucu di primbon juga dibahas nasib seseorang melalui bersin. Sekadar contoh aja ya. Bersin antara jam 01-02 pagi hari bermakna akan ada kabar yang kurang mengenakkan jiwa dan hati anda yang datangnya dari luar daerah. Bersin antara jam 02-03 pagi hari bermakna akan ada undangan yang datang kepada anda untuk dapat menghadiri suatu perayaan. Bersin antara jam 03-04 pagi hari bermakna akan ada teguran dari pimpinan untuk anda. Bersin antara jam 04-05 pagi hari bermakna akan ada penyambutan dari anda untuk tamu yang datang dari jauh. Bersin antara jam 05-06 pagi hari bermakna akan ada rasa yang sangat menggambarkan kenikmatan dan kebahagiaan kepada anda.
Hmm.. ini satu contoh prediksi tentang nasib yang asal-asalan bin ngawur. Gimana kalo kita sedang flu? Bila seharian kita sering bersin, berarti gimana dong nentuin nasib kitanya? Kayaknya yang bikin primbon juga bingung sendiri deh tuh.
Jangankan bersin, soal mimpi aja dibahas kok dalam primbon atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat saat ini. Misalnya aja kalo kita mimpi menjadi orang kaya, ternyata tafsirnya adalah kebalikannya, yakni kita akan tidak berhasil dalam jangka waktu yang lama. Duilee.. kejam amat ya? Gimana jadinya kalo kita sering mimpi jadi kaya? Berarti selama hidup kita nggak berhasil terus dong? Asal deh!
Ada yang cukup menggelikan yang ditulis dalam website primbon, kalo kita mimpi sedang berolahraga bermakna akan ada kemajuan dalam soal perjuangan (usaha yang anda harapkan akan tergapai). Hehehe.. perlu juga kita bertanya kepada orang-orang yang berhasil dalam hidupnya, pernah nggak tuh mimpi berolahraga? Tapi yang jelas dan pasti, Frank Lampard Cs di klub sepakbola Chelsea terus mengolah tubuhnya dan tekniknya bermain bola bukan di alam mimpi, tapi di dunia nyata supaya bisa berhasil menjadi klub yang kini cukup disegani di Liga Inggris itu. Iya kan?
Bukan warisan Islam
Benar banget. Kitab primbon itu bukan warisan dari ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, itu adalah warisan budaya jaman jahiliyah alias jaman kebodohan dan kegelapan.
Bro, kalo kita percaya dengan semua yang diajarkan dalam primbon, ati-ati karena itu bisa menjerumuskan diri kita kepada hal syirik (menyekutukan Allah Swt. alias menduakan). Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirik itu adalah dosa besar sebagaimana firmanNya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqman [31]: 13)
Jadi, syirik adalah kezaliman yang paling zalim dan tauhid adalah keadilan yang paling adil. Hal-hal yang bertentangan dengan tauhid adalah dosa paling besar. Dan apa yang paling sesuai dengan prinsip tauhid adalah kewajiban yang paling wajib dan ketaatan yang paling diutamakan. Kesyirikan adalah hal yang paling bertentangan dengan tauhid, maka kesyirikan mutlak merupakan dosa yang paling besar (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Penawar Hati Yang Sakit, hlm. 153)
Bro and Sis, kalo sikap kita kepada ramalan primbon seperti itu juga, berarti kita pun nggak ada bedanya dengan orang-orang yang telah lebih dulu percaya sama dukun alias tukang ramal. Pokoknya nggak usah melibatkan dirimu dalam kancah ramal-meramal; kamu nggak boleh percaya bualan mereka yang membuat ramalan di primbon atau malah mendatangi dukun secara langsung. Hih, amit-amit deh.
Terus terang, bahwa manusia—siapa pun ia—nggak tahu dan nggak bakal dikasih tahu sama Allah tentang masa depan kehidupan dunianya; rizki, bahagia, sengsara, jodoh, usaha, dan juga kematian. Nggak ada yang tahu kecuali Allah. Kenapa? Karena  masalah ini termasuk ke dalam ‘wilayah’ ghaib. Firman Allah Swt.:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) “  (QS al-An’am [6]: 59)
Dalam ayat lain diterangkan bahwa Allah tidak akan memberi semacam ‘bocoran’ kepada manusia tentang masa depan kehidupannya, kecuali hanya kepada Rasul yang diridhoiNya. Firman Allah Swt.:
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS al-Jin [72]: 26-27)
Imam al-Qurthubi menyebutkan—ketika menafsirkan ayat tersebut—bahwa ramalan bintang (termasuk dalam hal ini ramalan di primbon, red.) tak ada faedahnya sama sekali, dan tidak menunjukkan celaka atau bahagia (seseorang). Ramalan tersebut tiada lain adalah penentangan terhadap al-Quran yang agung. Sikap penentangan terhadap al-Quran ini berarti telah menghalalkan darah orang yang melakukan ramalan perbintangan itu.
Tanggung jawab bersama
Betul. Kita berharap banyak ada orang atau pihak yang bisa membela dan menyuarakan Islam dengan benar. Aksinya amat diperlukan dalam kondisi saat ini, lho. Bener. Di tengah gelombang arus informasi yang kian cepat ini, bukan mustahil kalo kita bakalan kebawa arusnya yang deras. Sementara, kita kudu mengakui, nggak semuanya informasi itu membawa berkah. Sebaliknya, justru malah membawa malapetaka. Contohnya soal ramalan zodiak, primbon dan sihir. Bagaimana pun, ide rusak yang dikemas dalam bentuk yang sangat menghibur, bahkan interaktif karena muncul di media massa canggih seperti televisi dan internet, maka bila tak ada langkah pencegahan, jangan salahkan mereka aja bila akhirnya kaum Muslimin jadi berantakan pemikirannya. Sebab, ada yang salah juga dari kita. Yakni, diem aja atau bahkan larut dalam gaya hidup yang diajarkan mereka (musuh-musuh Islam).
Kita, remaja Islam sebenarnya sangat berharap akan ada media Islam yang mampu bersaing dengan media-media lain. Apakah majalah atau tabloid, juga novel, pokoknya bisa tampil memikat, gaul, ngertiin gaya remaja dan tentu saja menampilkan wajah Islam yang ramah. Jangan malah media yang ada menjadi alat propaganda tahayul, tathayyur, sihir, primbon, ramalan bintang dan sejenisnya. Menyedihkan banget.
Lagipula, untuk urusan dakwah bukankah keikhlasan dan keseriusan menjadi prioritas. Sekarang pilih mana; membiarkan terus remaja dan anak-anak kita tenggelam dalam bacaan dan tontonan yang ‘menyesatkan’ atau memberikan bacaan dan tayangan alternatif yang ‘mencerahkan’? Kita pasti tahu jawabannya. Itu sebabnya, ini tugas bersama untuk mengatasi problem ini. Terutama pemerintah yang harus segera memberlakukan aturan dan sanksi bagi para penyebar propaganda kekufuran dan penyebar kesyirikan di tengah-tengah masyarakat.
Namun, kita juga masih sangsi alias ragu kalo pemerintah mau memberlakukan aturan dan sanksi yang tegas. Maklum, pemerintah masih bermesraan dengan kapitalisme-sekularisme yang memang telah memberikan jalan bagi para pemuja kebebasan. Itu sebabnya, hanya dengan Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara, berbagai problem kehidupan umat ini bisa diselesaikan. Lagian, di Indonesia kan mayoritas penduduknya Muslim, sekitar 80-an persen. Wajar dong kalo diterapkan syariat Islam. Betul nggak?
Nah, bila kita berkaca kepada ajaran Islam, rasanya kita akan berpikir beribu kali sebelum melibatkan emosi kita dalam dunia klenik (perdukunan alias sihir) juga ramal-meramal semacam primbon dan zoidak tersebut. Kehidupan yang serba tak menentu bagi sebagian masyarakat kita, tidak lantas kemudian jatuh ke dalam pelukan para pembual alias para tukang sihir dan peramal yang mencoba menggoda dengan menawarkan jasanya. Yakinlah, bahwa Allah akan menjamin kehidupan setiap hambaNya selama hamba tersebut percaya bahwa hanya Allah Ta’ala lah yang wajib disembah dan dimintai pertolongan. Kita tak perlu mencoba meramal nasib, atau dengan alasan menjaga diri kemudian kita terjebak dalam dunia klenik tersebut.
Kehidupan sekarang boleh berubah, meski dengan perubahan yang menyebabkan sebagian dari kita bangkrut dalam kehidupan ini. Namun tak berarti bahwa kemudian merasa sah-sah saja ketika harus melibatkan diri dalam dunia klenik alias perdukunan, atau percaya kitab primbon, ramalan bintang, dan mendatangi para tukang ramal nasib. Jangan sampe deh.
Nah, daripada kita terbuai oleh ramalan bintang dan ramalan sejenisnya yang emang cuma bualan dan bikin akidah Islam kita cacat, mendingan energi kita disalurkan buat belajar tentang Islam. Islam sebagai akidah dan syariat. Itu berarti, selain kita telah melaksanakan salah satu kewajiban–yakni mencari ilmu–kita juga bisa lebih pandai dari orang yang nggak belajar. Walhasil, kita bakal tahu, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang untuk dilakukan.
Kita berharap juga kepada pemerintah supaya serius untuk menghentikan program pengrusakan akidah secara massal lewat media massa ini. Dan secara teknis kini kita kudu mulai ninggalin kebiasaan percaya sama ramalan zodiak, primbon, perdukunan dan sejenisnya itu. Bisa dosa lho. Eh, yang pasti emang itu nggak ada gunanya, kok. Oke? [solihin: osolihin@gaulislam.com]
copy-paste dari :
http://metafisis.wordpress.com/

Rabu, 04 Mei 2011

PERNYATAAN SIKAP PIMPINAN PUSAT PEMUDA MUHAMMADIYAH



Jakarta - Tanggal 1 Mei setiap tahunnya diperingati oleh para buruh dari berbagai belahan dunia sekaligus untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka. Peringatan sudah berkali-kali dilakukan, namun nasib buruh yang diharapkan berubah ternyata semakin hari semakin memprihatinkan. Fakta sosial menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan buruh tetap saja lebih rendah daripada kelompok masyarakat lainnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya political will dari pemerintah untuk segera menyelesaikan berbagai macam problematika yang melingkari dunia perburuhan di tanah air.
Oleh karena arah dakwah Pemuda Muhammadiyah yang selalu berorientasi pada upaya pemberdayaan kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan atau kaum mustadhafin seperti kelompok buruh, menyebabkan Pemuda Muhammadiyah merasa terpanggil untuk menyatakan sikap terkait dengan hari buruh  yang dilaksanakan besok hari. Melalui momentum hari buruh 1 Mei 2011, Pemuda Muhammadiyah menyatakan sikap sebagai berikut;

1.            Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa 33 juta kaum buruh dari total 116,5 juta jiwa angkatan kerja  Indonesia adalah kelompok yang sangat perlu mendapatkan perlakuan dan perlindungan dari pemerintah. Secara faktual, mereka adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah masih saja selalu absen dalam memberikan perhatian, perlindungan, dan kepastian sosial ekonomi terhadap para pekerja tersebut, bahkan lebih parah lagi cenderung menegasikan eksitensi sosial ekonomi mereka.
2.            Berdasarkan data ILO (International Labor Organization)  pada tahun 2010, telah terjadi eskalasi  peningkatan jumlah buruhOutsourching dan Kontrak  kerja di Indonesia. Dengan rata-rata peningkatan 5% setiap tahunnya, hari ini buruh outsourching tersebut telah mencapai 65%  total buruh formal yang ada. Padahal, lima tahun yang lalu jumlah buruh outsourching dan kontrakhanya berjumlah 30%. Peningkatan drastis ini, disebabkan karena pengabaian pemerintah terhadap kesejahteraan buruh. Sikap pengabaian ini tercermin keengganan pemerintah untuk merevisi UU NO. 13 Tahun 2003 yang sangat merugikan para kaum buruh di Indonesia. Berkenaan dengan itu, Pemuda Muhammadiyah meminta agar pemerintah segera mencabut UU NO 13 TAHUN 2003 atau melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan kebutuhan para buruh Indonesia.  
3.            Pemuda Muhammadiyah mendesak agar pemerintah segera mengesahkan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengesahan undang-undang tesebut diharapkan bukan melakukan peleburan institusionalisasi lembaga jaminan sosial nasional, tetap mendisain model ekonomi jaminan sosial (economic security) yang mampu melindungi semua pekerja di Indonesia, termasuk pekerja sektor informal dalam maupun luar negeri. Selain itu, pemerintah juga didesak untuk mengalokasikan sebagian dari dana APBN untuk melindungi tenaga kerja Indonesia.
4.            Pemuda Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk segera menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, khususnya TKW yang bekerja di sektor informal. Data terakhir menunjukkan bahwa pemerintah mengirimkan rata-rata 400.000 orang berangkat ke Luar Negeri setiap tahunnya. Secara akumulatif, saat ini ada sekitar 4,5 juta orang yang menjadi TKI di luar negeri dimana 70% di antaranya adalahTKW. Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa pemerintah selama ini hanya menjadikan TKI maupun TKW sebagai komoditas dan instrumen yang dieksploitasi untuk menambah devisa negara. Sementara pemerintah selalu tidak pernah memperdulikan prilaku yang tidak manusiawi yang mereka terima setiap saat, terbukti dengan banyaknya kasus-kasus penyiksaan TKW yang terjadi berulang kali.
5.            Pemuda Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk segera melakukan tindakan cepat dan terukur dalam membebasan ABK Sinar Kudus yang nota bene-nya adalah anak-anak bangsa yang bekerja sebagai buruh kapal. Kami menilai bahwa usaha untuk membebaskan mereka adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap pekerja dan anak negeri sekaligus sebagai upaya menjaga kehormatan, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.
6.            Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa peningkatan problematika yang mengitari kaum buruh Indonesia khususnya dua tahun belakangan ini adalah dikarenakan miskinnya rancang kerja dan program riil dari Kementerian Teknis yakni Kementerian Transmigrasi dan Ketenagakerjaan. Persoalan ini menjadi semakin kompleks karena frame-work menteri terkait selalu berada dalam kisaran politis dan cenderung mengabaikan kerja-kerja teknis untuk memperbaiki nasib buruh. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah mendesak Presiden Republik Indonesia untuk menyegarkan kepemimpinan di Kementerian Transmigrasi dan Ketenagakerjaan.
 
Demikian Pernyataan sikap ini kami sampaikan dengan harapan buruh Indonesia dapat mencapai kesejahteraannya sesuai dengan keinginan kita bersama.
 
Fastabiqul Khoirot
Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Ketua Umum                                                       Sekretaris Jenderal
 
Dr. Saleh P Daulay, M.ag, M.hum, MA                           Rahimandani, MA