ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

YAA ALLAH DENGAN PERTOLONGANMU KAMI MEMOHON
BERILAH KAMI KEKUATAN LAHIR DAN BATHIN UNTUK MAMPU MERAIH RIDLAMU..

Jumat, 21 Juni 2013

Penentuan Awal Bulan Qomariyah Menurut Perspektif Muhammadiyah

Penentuan Awal Bulan Qomariyah Menurut Perspektif Muhammadiyah
Oleh : Wahyudi Abdurrahim, Lc. (Ketua PCIM Mesir 2008-2010)

Perbedaan penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya disebabkan karena berbedanya dasar yang digunakan. Diantaranya ada golongan yang berpegang teguh kepada rukyat sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan yang mendasarkan penetapannya pada saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada lagi golongan yang mendasarkan pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang menetapkan awal bulan kamariah dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan hisab urfi.
Dari perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini kami akan menyampaikan penentuan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah.
Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara penetapan awal bulan kamariah:
  1. Rukyatul hilal.
  2. Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
  3. Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
  4. Dengan perhitungan hisab.
Rukyatul hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki kemungkinan untuk di observasi. Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal dapat di observasi belum didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah melakukan penelitian berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit yang posisinya mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya kurang dari 8 derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil penelitiannya di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar hilal dapat teramati  pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak sudut 8 derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5 derajat.
Tatkala matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8 derajat dengan matahari dan memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita bahwa seseorang telah melihat hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan kebenarannya, maka kaum muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk Muhammadiyah. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

[الصَّوْمُ وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]
“berpuasa dan beridul fitri dengan rukyat”
Keputusan itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal berada pada batas imkanur rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi serupa ini, Muhammadiyah akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila hilal tidak mungkin dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah menerima istikmalsebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena tertutup awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang ditempuh adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:

[وَ لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]
“dan tidak ada halangan dengan (menggunakan) hisab”
Jika ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab astronomi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana (wasîlah)yang dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ditemukan satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomi, bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.
Muhammadiyah-pun mengalami perkembangan dalam menetapkan sistem hisab yang digunakannya. Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun 60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem wujudul hilal, meskipun kemungkinan pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya untuk menetapkan seluruh bulan-bulan kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat ini teori wujudul hilal itu digunakan untuk keseluruhan bulan kamariah.
Ufuk yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau tidaknya hilal adalah ufuk hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H. Basith Wahid, bahwa sejak tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal, yang diperhitungkan adalah saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan terhadap ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke arah penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah yang digunakan dalam keputusan itu adalah ‘wujudul hilal’. Dalam aplikasinya, Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).
Konsep wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita kita simak hadis Kuraib, Ibn Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem matlak lokal, bukan wilayatul hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal hanya melewati sebagian wilayah Indonesia, apakah daerah yang belum wujud ‘dipaksakan’ mengikuti wilayah yang sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini juga akan menemui masalah ketika diterapkan di negara lain yang mempunyai teritorial luas, seperti Rusia.

Sikap Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran matahari, kalender hijriyah yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila dikaitkan dalam menetapkan bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya ditetapkan berdasarkan penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan bukan hal yang sederhana. Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri, kapan jatuh hari wukuf, dan hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung dan terkait pada kapan tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.
Dalam realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi dan teori yang berkembang di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada yang menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata cara, teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini seluruhnya disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali menyebabkan perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan. Sesama ahli rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau tidaknya hilal terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5 derajat maka bulan belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat melihat hilal walau ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa melihat bulan dalam ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0 derajat.
Pemerintah (Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian bulan agar dapat dilihat minimal 2 derajat sebenarnya penetapan kompromis antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini dapat dikatakan sebagai kompromi yang ‘asal-asalan’ karena dalam praktiknya bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak akan dapat terlihat. Selain itu, ada juga pendapat yang mengusulkan bahkan mewajibkan untuk mengikuti penetapan bulan kamariah berdasarkan rukyat dan penetapan pemerintah Arab Saudi. Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu bulan kamariah ini akhirnya menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu mendewakan keseragaman dalam berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan dengan alasan ukhuwah (persaudaraan, persatuan). Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan tanggal 1 bulan kamariah ini seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa saja, sebagaimana penerimaan kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat tarawih ada yang melakasanakan 20 rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11 rakaat, namun ukhuwah umat tidak terbelah.
Bagi penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama dengan perbedaan ulama tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih mempunyai usul fikih sebagai sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan juga mempunyai metode tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih falak. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal bulan baru bisa terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui satu konsep tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama. Persoalannya, mungkinkah ini dapat terwujud?

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
  1. Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.
  2. Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem ‘wujudul hilal’.
  3. Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat langsung) atau dengan hisab.
  4. Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai metode ilmu pengetahuan modern.
  5. Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah sudah tiba atau belum.
  6. Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep wujudul hilal plus wilayatul hukmi.
  7. Banyaknya perbedaan dalam menentukan metode penentuan awal bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya dianggap sebagai perbedaan furu’iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu penyikapan secara toleran.
  8. Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah.Wallau a’lam.


***
Daftar Pustaka
  1. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
  2. Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
  3. Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
  4. Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern [Yogyakarta: Suara Muhammadiyah].
  5. http://Suara-Muhammadiyah.com
  6. http://Muhammadiyah.or.id

Senin, 03 Juni 2013

TASAWWUF ???

TANYA :
● Apakah Tasawwuf itu Bid'ah?

JAWABAN :
● Abul Hasan Al-Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan Al-Bisri (w. 110H./728 M.) mengatakan: “ Pada zaman Rasulullah saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan Anda. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasul saw. seperti sikap Zuhud, Qona’ah, Taubat, Ridha, Shabar, dll. Nah, kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.

Seperti dalam perkuliahan, ada yang disebut Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dll. Nah, kumpulan materi perkuliahan ini kemudian disebut MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum). Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawuf. Akan tetapi, beliau memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud).

Kalau kita cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dll.

Anda boleh (tidak termasuk bid’ah) memberi nama untuk sederet istilah itu dengan nama Tasawuf. Namun kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak dipakai pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti yang digunakan Imam Ahmad yaitu ilmu Zuhud.

Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Adapaun makna Tasawuf, kita bisa lacak dari asal-usulnya.
Para ahli mengatakan bahwa:

1. Tasawuf berasal dari kata “As-suuf” artinya bulu atau kain wol yang kasar. Kemudian kata As-Suuf diberi akhiran “ya” (As-Suufiya) yang dinisbahkan kepada orang yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kesederhanaan. Lawan pakaian sutera yang merupakan simbol kemewahan. Kemudian seseorang yang lebih mengutamakan kesederhanaan disebut Sufi.

2. Tasawuf berasal dari kata Ahl-Shuffah yaitu sekelompok shahabat miskin yang hijrah ke Madinah dan tidak memperoleh tempat tinggal. Sehingga Rasulullah saw. menempatkan mereka di serambi masjid. Tempat itu dinamakan Suffah, sedangkan para penghuninya disebut Ahl-Shuffah. Dari kata Suffah inilah lahir kata Tasawuf.

3. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophos. Theo artinya Tuhan dan Sophos artinya hikmah. Dengan demikian Tasawuf berarti hikmah ketuhanan. Pada umumya yang berpendapat demikian adalah para orientalis.

Dalam perkembangan berikutnya, para ahli memberikan banyak definisi mengenai hal ini, sehingga Annemarie Schimmel mengatakan, sulit mendefinisikan tasawuf secara komprehensif, karena kita hanya bisa menyentuh salah satu aspeknya saja. Walaupun susah mencari makna yang komprehensif, namun kita perlu mengutip salah satu pengertian tasawuf yang disampaikan seorang tokoh sufi modern yaitu Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 289 H.) yang menyebutkan, “Tasawuf adalah riyadhah (latihan) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat yang menyamai binatang) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah swt. dan mengikuti sunah Rasululullah saw.”

Mencermati definisi ini, bisa kita simpulkan bahwa tasawuf adalah latihan untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunahkan Rasulullah saw. Wallahu A’lam.

SUMBER : percikaniman.org

Rabu, 29 Mei 2013

SEKELUMIT RIWAYAT MUHAMMADIYAH DI KEDUNGGALAR



Para Pimpinan Muhammadiyah di Cabang Kedunggalar saat ini rata-rata tidak begitu mengetahui riwayat Persyarikatan ini di cabang yang dipimpinnya. Hal ini karena beberapa sebab, di antaranya :
1.       Mereka bukan penduduk asli di Kedunggalar
2.       Mereka menjadi Muhammadiyah setelah mereka relative tua.
3.       Pimpinan terdahulu tidak meninggalkan arsip yang berkaitan dengan kegiatan Muhammadiyah dari tahun ke tahun.
4.       Para sesepuh Muhammadiyah yang cukup lama jadi orang Kedunggalar sudah tidak ada lagi.
Oleh karena itu untuk mengetahui kapan Muhammadiyah mulai ada di Kedunggalar cukup sulit. Namun menurut cerita dari mulut ke kuping sedikit-sedikit masih bisa digambarkan mulai kapan Muhammadiyah menyapa masyarakat Kedunggalar.
Menurut cerita yang pernah saya terima, pada tahun 1925-an Mubaligh Muhammadiyah pernah datang dan menetap di Kedunggalar. Pada waktu itu sikap masyarakat sangat anti-pati kepada Persyarikatan yang berpusat di Yogyakarta ini. Sikap antipati ini terjadi karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat sebelumnya. Umumnya informasi yang sampai kepada masyarakat berasal dari orang-orang yang tidak setuju dengan gagasan Sang Pencerah, sehingga mereka cenderung membuat cerita-cerita khayal yang menggambarkan bahwa Muhammadiyah itu suatu faham baru yang sesat, yang wajib dijauhi dan kalau perlu dimusuhi oleh orang Islam. Maka dakwah Mubaligh itu kurang begitu berhasil dan kebetulan Mubaligh yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah itu tidak lama juga kena mutasi ke Surabaya. Pun demikian, ada juga bekas-bekas hasil dakwah Sang Mubaligh, di antaranya ada sebagian kaum santri yang merasa suka kepada Muhammadiyah dan menyatakan diri sebagai “orang Muhammadiyah”.
Pada jaman Jepang dan di awal-awal merdeka, walaupun Cabang belum secara resmi terbentuk namun kegiatan Gerakan Kepanduan HW cukup ramai. Sehingga hampir seluruh Pemuda terpelajar di Kedunggalar ikut menjadi Pandu HW (Hizbul Wathon). Yang termasuk Pimpinan HW pada waktu itu di antaranya : Abdullah Bakri, Muhammad ‘Aliman, Muh.Syamsu Harianto dll yang kelak menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kedunggalar.
Selanjutnya berkenaan dengan status Muhammadiyah yang menjadi anggota istimewa Partai Politik Islam Masyumi, kegiatan dakwah Muhammadiyah di Kedunggalar tidak begitu terasa, karena hampir keseluruhan waktu dan tenaga digunakan untuk kepentingan Masyumi yang sedang mengalami tekanan berat dari lawan-lawan politik yang secular.
Pada tahun 1959 Bung Karno secara sepihak mengeluarkan dekrit, yang terkenan dengan sebutan Dekrit Presiden. Di antara isi dekritnya ialah membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955. Partai Masyumi yang diikuti oleh Muhammadiyah menjadi lawan politik yang berat bagi Sukarno yang Nasionalis Sekular ini. Maka berbagai cara ditempuh oleh Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Berbagai macam fitnah disebar, banyak pimpinan Masyumi (yang juga pimpinan Muhammadiyah) ditangkap dan dimasukkan ke penjara secara tidak adil dan penuh kesewenang-wenangan, seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Dr.M.Natsir, Prof. Hamka ditahan dengan tuduhan fitnah yang dibuat-buat.
Karena kondisi di tingkat atas seperti itu, maka gerak Muhammadiyah di lapisan terbawahpun selalu diawasi dan dimata-matai oleh Penguasa dan kekuatan anti Islam. Sehingga gerakan Muhammadiyah di Kedunggalarpun tidak bisa berjalan lancar. Namun demikian, tokoh-tokoh Masyumi di Kedunggalar tidak pernah menyerah begitu saja. Mereka terus berjuang sekuat tenaga dengan bendera Muhammadiyah lagi (setelah Masyumi membekukan diri). Maka pada tahun 1962 Pimpinan Muhammadiyah Cabang Kedunggalar mulai kelihatan keberadaannya. Tokohnya antara lain : Abdullah Bakri, M.Aliman, Abdul Mu’idz, Sutomo Rahardjo, Syamsu Hariyanto, Abdullah Sayid, M.Sholeh, dll.
Gerakan Muhammadiyah di Kedunggalar  saat itupun masih berkutat urusan politik, yakni pertarungan ideology antara nasionalis, Islam dan Komunis.
Pada tahun 1966 sampai dengan 1969 gerakan Muhammadiyah banyak berupa ikut berpartisipasi dalam penumpasan gerakan Komunisme.
Pada tahun 1970-an, tokoh-tokoh Muhammadiyah di Kedunggalar dilanda kurang kompak. Penyebabnya juga urusan politik, yaitu sebagian bergabung dalam Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) sebagian lagi ikut bergabung dalam wadah politik Golongan Karya. Akhirnya Muhammadiyah di Kedunggalar menjadi seolah-olah tidak ada lagi.
Pada tahun 1985, Soeharto penguasa Orde Baru memaksakan kehendaknya agar semua Ormas berasaskan Pancasila (asas tunggal) semua Ormas mulai tingkat tertinggi (pusat) sampai terendah wajib melaporkan keberadaannya kepada pemerintah. Maka Muhammadiyah Cabang Kedunggalarpun mulai dibangunkan kembali. Tercatat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Cabang pada saat itu di antaranya : Abdullah Bakri (Ketua), Muh.Aliman (Wk.Ketua), Rustamadji (Sekretaris), M. Sholeh (bendahara), Abdul Mu’idz (Wk Bendahara).
Alhamdulillah, mulai saat itu Muhammadiyah di cabang Kedunggalar meski lambat terus bergerak. Ortom Kepemudaan mulai dibentuk dan diadakan (Pemuda Muhammadiyah) Pimpinan dan tokoh-tokohnya di antaranya : Drs, Sunarwan, Drs. Supriyadi, Drs, Mahfudzi, Istijono Prawiro Hadi K, Ni’am Afrosin, Gipong Sumarsono, Totok Sri Haryanto, Suharno dll.
Dan akhirnya Muhammadiyah di kedunggalar terus berjalan sampai sekarang ini.