ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

YAA ALLAH DENGAN PERTOLONGANMU KAMI MEMOHON
BERILAH KAMI KEKUATAN LAHIR DAN BATHIN UNTUK MAMPU MERAIH RIDLAMU..

Sabtu, 10 Desember 2011

Din: Ubah Nasionalis Patriotis Jadi Nasionalis Rasional


Malang- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, mengatakan sudah saatnya kita meninggalkan sikap “nasionalis patriotis” yang salah menjadi nasionalis rasional. Yang dimaksud dengan nasionalis patriotis yang menyimpang itu adalah yang dilakukan secara membabi buta. Ketika disenggol sedikit lalu reaktif, membabi buta, demonstratif.
“Seharusnya kita bisa lebih mengarahkan kepada nasionalis dengan meningkatkan daya saing, memperkuat diri dengan daya juang yang tinggi,” kata Din menjelaskan yang dimaksud dengan nasionalisme rasional. Din berbicara tentang berbagai persoalan politik dan memotivasi kader muda di hadapan sekitar 400 kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Jumat (9/12) di UMM Dome.
Din hadir di UMM atas undangan Pimpinan Cabang IMM Malang untuk memberi kuliah umum sebelum pelaksanaan Diklat Politik Nasional (Dikpolnas) yang akan berlangsung hingga Minggu (11/12). “Kami bangga dan bersyukur karena Ayahanda Din menyempatkan waktu untuk kader-kader Muhammadiyah di acara kami,” kata Ketua PC IMM Malang Taufik.
Hadir dalam pertemuan itu rektor UMM, Muhadjir Effendy, ketua DPD IMM Jatim Ali Mutohirin, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang, Baroni dan Ketua PDM Kabupaten Malang, Mursidi, serta fungsionaris organisasi otonom Muhammadiyah lainnya.
Menurut Din, bangsa ini sedang menghadapi dua persoalan besar yang disebutnya sebagai moral illiteracy dan spiral of stupidity. Moral illiteracy adalah buta aksara moral atau tuna moral. Sedangkan spiral of stupidity adalah lingkaran kebodohan atau disebut sebagai the spiral of immorality.
Akibat kedua perilaku itu, bangsa ini semakin koruptif dan terjebak ke dalam lingkaran kebodohan. Perilaku kebohongan, kemunafikan, manipulasi, terjadi diberbagai sektor. Korupsi, disebutnya merupakan organized crime, termasuk yang dilakukan oleh negara. Melalui UU mengenai Ekonomi, misalnya, negara mengesahkan pencaplokan kekayaan alam kita kepada pihak asing.
“Yang lebih memprihatinkan, perilaku koruptif itu sudah menjalar ke kader-kader muda, pelakunya masih berusia belia,” ujar Din menyebut beberapa nama yang santer diberitakan di media massa.
Di sisi lain kelemahan leadership juga menjadi persoalan serius. Manajemen dan kepemimpinan tidak berjalan efektif. “Negara ini telah salah urus karena pemimpinnya tidak mau serius mengurus,” kritiknya.
Untuk itu Din menyerukan kepada kaum muda Muhammadiyah untuk mengambil peran penting. “Umat Islam harus menjadi determinant factor, minimal jadi effective factor dari problem solver,” harapnya.
Muhammadiyah, kata Din, tidak perlu terlalu harus besar secara angka sebaliknya harus kuat secara kualitas. “Biarpun kecil, peran kita harus sangat besar bagi bangsa ini,” kata Gurus Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Melalui politik nilai atau politik akomodatif, menurut Din, warga Muhammadiyah bisa mengambil peran di berbagai partai politik. Tetapi nilai-nilai luhur persyarikatan harus ditegakkan dan tidak semata-mata berorentasi kepada jabatan.

copas :
http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-661-detail-din-ubah-nasionalis-patriotis-jadi-nasionalis-rasional.html

Dituntut Mandiri, Mahasiswa Jangan Terpaku Dosen



Yogyakarta- Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi selalu dituntut untuk memiliki dosen sebagai pengajar yang berkualitas. Tidak seperti guru, seorang dosen lebih diposisikan sebagai fasilitator pengembangan intelektual mahasiswa. Permasalahannya, mahasiswa baru seringkali terjebak pada lingkungan SMA dengan keberadaan guru sehingga kesulitan melakukan pengembangan diri.
 
Demikian disampaikan Ketua Prodi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahim Abdurahim, SE., M.Si, Akt di sela-sela kegiatan Bridging Mahasiswa Akuntansi UMY 2011/2012, “Improving Your Intellectual and Moral Capacity toward Prospective Accountant” yang berlangsung sejak 3 Desember 2011 hingga 21 Januari 2012 mendatang, di Kampus Terpadu UMY.
 
Menurut Ahim, berbeda dengan guru sekolah yang benar-benar mengarahkan siswa, dosen lebih diletakkan sebagai pemberi ilmu dalam perkuliahan, dan fasilitator saja. Mahasiswa dituntut untuk tidak terpaku hanya pada apa yang diberikan oleh dosen di kelas. Mahasiswa sepantasnya mengembangkan pengetahuan mereka di berbagai sarana. “Dosen bukan segala-galanya. Logikanya, saat lulusan perguruan tinggi diwawancarai untuk masuk kerja, bukan dosen yang mewawancarai mereka. Mereka perlu referensi yang jauh lebih dari yang ada di perkuliahan” terangnya.
 
Mahasiswa juga dituntut untuk mandiri dalam memilih minat apa yang ingin mereka kembangkan. Fasilitas-fasilitas non-kulikuler, himpunan mahasiswa misalnya, dibentuk hanya sebagai sarana memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mahasiswa untuk berekspresi. “Universitas hanya memberi sarana, mahasiswa harus punya ide sendiri dalm mengadakan kegiatan seminar, lomba-lomba, atau kegiatan lain. Softskill seperti ini mengantarkan mereka ke pintu dunia kerja”, jelasnya.
 
Salah satu pengembangan intelektual lain menurut Ahim cukup berpengaruh terhadap dunia kerja adalah kemampuan menulis menulis ilmiah. Menulis secara ilmiah menurutnya dapat mengasah mahasiswa untuk berpikir runtut, sistematis dan logis. Di dunia kerja, hal semacam itu merupakan kemampuan dasar. Ditambah lagi dalam membuat keputusan secara akurat berdasarkan data yang akan ada dalam karya ilmiah dan dunia kerja.
 
Terkait dunia kerja, Ahim menilai, meskipun tugas dosen adalah sebagai pengajar di kelas, dukungan dosen yang juga berpengalaman sebagai praktisi Akuntansi tetap diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar perkuliahan tidak terpaku pada teori saja, sehingga mahasiswa memperoleh bayangan jelas. “Mahasiswa kedokteran saja pengajarnya seorang dokter. Mustahil jika seorang calon ahli keuangan daerah diajar oleh orang yang tidak tahu keuangan daerah itu seperti apa”, tandasnya.
 
Bridging Mahasiswa Akuntansi, merupakan program pengenalan dan penguatan kemampuan akademik serta softskill menghadapi sistem dan lingkungan belajar yang baru. Dalam program ini, para dosen akan memberikan sejumlah materi untuk tujuan tersebut, seperti kemampuan penulisan ilmiah, diskusi, presentasi, etika akademik, serta Bahasa Inggris. (umy.ac.id)

copas dari :
http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-651-detail-dituntut-mandiri-mahasiswa-jangan-terpaku-dosen.html

Rabu, 26 Oktober 2011

Sikap PP Muhammadiyah dan PWM Se-Indonesia Terhadap Kondisi Aktual Bangsa Indonesia

Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdasarkan Rapat Konsolidasi Nasional bersama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia, Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat, Rektor-rektor Universitas Muhammadiyah, dan Organisasi Otonom tingkat Pusat yang dilaksanakan pada tanggal 27 s.d. 28 September 2011 di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, dengan ini menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1.     Beban bangsa Indonesia di tengah bayang-bayang ancaman krisis ekonomi global saat ini terbilang berat.   Masalah ketenagakerjaan, kemiskinan, kerusakan sumberdaya alam, kondisi masyarakat di daerah-daerah perbatasan, nasib pulau-pulau terluar/terdepan, konflik horizontal, terorisme, dan masalah kedaulatan negara di tengah cengkeraman hegemoni ekonomi-politik dunia. Beban berat itu bukan sekadar dalam bobot masalahnya yang memang kompleks, tetapi pada saat yang sama diperparah oleh penyakit kronis dan menular yang bernama korupsi.
2.     Dalam menghadapi masalah-masalah besar tersebut diperlukan keberanian moral dan politik yang kuat dari pemerintah dan seluruh penyelenggara negara termasuk kekuatan-kekuatan politik nasional untuk menyelesaikannya secara tuntas dan sistemik. Bersamaan dengan itu diperlukan pengerahan seluruh kekuatan nasional di bawah pemerintahan yang kuat dan memiliki visi, komitmen, dan ketegasan politik yang tinggi dalam mengambil kebijakan. Khusus dalam pemberantasan korupsi dituntut langkah-langkah terobosan yang berani untuk membongkar kasus-kasus besar guna menjerat  pelaku-pelaku utama disertai vonis hukum yang seberat-beratnya.
3.     Muhammadiyah menilai perkembangan politik nasional dewasa ini cenderung kehilangan idealisme karena semakin menunjukkan perilaku politik transaksional  yang serba pragmatis.  Hal itu ditunjukkan dengan meluasnya politik-politik uang, pemanfaatan anggaran serta jabatan publik untuk kepentingan politik diri sendiri, kroni, dan lingkungan partai. Politik mulai kehilangan nilai moral dan visi yang didasarkan pada kebenaran, kebaikan, etika, dan lebih jauh lagi cita-cita nasional yang menjadi fondasi berbangsa dan bernegara. Selain itu, perkembangan demokrasi yang cukup positif tidak disertai dengan proses penegakkan hukum dan proses politik yang substantif, sehingga membuka peluang banyak masalah baru dalam kehidupan politik nasional hingga daerah di  negeri ini.
4.     Dalam menyikapi terorisme Muhammadiyah mengecam setiap tindakan kekerasan atas nama apapun, oleh siapapun, danuntuk kepentingan apapun. Pemerintah dengan aparat intelejen, kepolisian, dan seluruh institusi terkait lainnya diminta untuk melakukan penanggulangan terorisme secara menyeluruh sejak proses pencegahan hingga penindakan, dengan tetap harus bertindak cermat, objektif,  dan lebih bertumpu pada kekuatan sendiri. Namun demikian dalam penanganan terorisme tidak kemudian melalaikan dan mengalihkan perhatian pemerintah dari pemecahan masalah-masalah besar bangsa yang tidak kalah pentingnya untuk dihadapi dengan penuh pertanggungjawaban publik yang optimal.
5.     Muhammadiyah sebagai komponen bangsa yang telah berdiri jauh sebelum Republik Indonesia merdeka, senantiasa mengutamakan kepentingan dan kemajuan bangsa di atas segalanya. Muhammadiyah sejalan dengan Khittah dan Kepribadiannya menegaskan sikap untuk konsisten dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, berkiprah nyata melalui berbagai amal usaha,  serta bekerjasama dengan pemerintah dan seluruh komponen bangsa secara cerdas dan mengedepankan nasib bangsa. Muhammadiyah mengajak seluruh elite bangsa untuk konsisten antara kata dan tindakan, menjunjungtinggi moral yang utama, menunaikan amanat rakyat,  serta memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, kelompok, dan golongan. Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan.


Tags: pernyataan PP Muhammadiyah dan PWM

Berkedok Mobil Pintar, Anak-anak SD Dimurtadkan

image Suaranews - Berlangsung upaya pemurtadan di beberapa sekolah dasar di daerah Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekolah yang merupakan target yaitu SDN 01, SDN 05, dan SD Al Hikmah, Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan. Fakta ini diketahui asal beberapa saksi serta tim kepolisian yang terjun ke lapangan.
Kepala Unit Reserse Kriminal, Kepolisian Sektor Tambun Selatan, Iptu Heriadi, menyampaikan, upaya pemurtadan ke beberapa siswa di tiga SD tersebut memanfaatkan modus program mobil pintar oleh Yayasan Satria Bangsa. Pol sek Tambun membuat tim khusus guna mengecek kebenaran praktik pemurtadan sesudah mengantongi laporan asal orang tua murid serta kepala sekolah.
Tim mendapatkan fakta yang membenarkan terdapat gerakan pemurtadan terhadap ratusan siswa asal ketiga SD itu, ucap Heriadi, Senin (24/10). Seminggu lalu, kepala sekolah asal masing-masing SD mengaku didatangi perwakilan asal Yayasan Satria Bangsa yang menawarkan penyelenggaraan kegiatan pemberian motivasi belajar beserta program mobil pintar.
Mereka menyepakati penyelenggaraan acara tersebut pada 6 Oktober 2011. Program mobil pintar diisi beserta kegiatan menyanyi, pemberian motivasi, permainan, serta sesi tanya jawab. Berdasarkan laporan saksi, jelas Heriadi, tiap sesi acara terdapat kejanggalan, sebagaimana pengenalan proses peribadatan suatu agama tertentu.
Dalam sesi tanya jawab, seumpamanya, siswa yang mampu menjawab pertanyaan asal panitia sesudah itu dikasih hadiah berupa roti, susu, pulpen, serta tas. Pada pulpen serta tas ditemukan gambar menyerupai Yesus serta tertulis petikan ayat asal al-Kitab, kata Heriadi. Hadiah-hadiah tersebut diamankan kepolisian sebagai barang bukti.
Tim khusus Polsek Tambun Selatan selanjutnya mencari tahu dua unit mobil pintar yang dipakai dalam acara itu. Heriadi menuturkan, ternyata mobil pintar atas nama Yayasan Mahanaim, bukan Yayasan Satria Bangsa yang menyelenggarakan kegiatan. Kasus ini dilimpahkan ke kepolisian daerah dan Mabes Polri karena kewenangan polsek hanya sampai menelusuri fakta di lapangan.
Kasus yang berkaitan dengan isu SARA semacam ini, tutur dia, membutuh kan penanganan yang intensif.
Aliansi Islam Bekasi (Alibi) Kota Bekasi mendesak kepolisian menindak tegas pelaku pemurtadan. Koordinator Alibi, Budi San toso, mengatakan, berdasarkan data yang ada, kejadian ini merupakan upaya in doktrinasi yang sudah berlangsung kesekian kalinya oleh Yayasan Mahanaim. Jika tidak ada tindakan tegas, bisa mengancam kerukunan hidup umat beragama, katanya. c25 ed: ferry kisihandi(suaranews)

sumber :
http://www.suaranews.com/2011/10/berkedok-mobil-pintar-anak-anak-sd.html

Selasa, 20 September 2011

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 2)

PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
bag. 2

8. Klaim Ibn Abdil Barr Asy’ari (133)
Jawabannya ada dalam Jami’ Bayan Al-Ilmi Wa Fadhlihi tahqiq Abul Asybal Az-Zuhairi, 2/939-943)
9. Untuk membuktikan ibanah yang asli mengikuti ibn Kullab, dan tidak sama dengan paradigma Hanabilah dulu dan Wahabi sekarang ini penulis membawakan riwayat yang tidak benar (51-52) bahwa al-Barbahari tidak menerima al-Ibanah. Kisah ini (al-Barbahari tidak menerima al-Ibanah, kemudian al-Asy’ari keluar dari Baghdad) dibatalkan oleh imam ibn Ibnu Asakir ra dalam Tabyin kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari alhanafi al-maturidi (288). Juga didustakan oleh Ibn Taimiah, Dzahabi, karena bertentangan dengan fakta bahwa Asyairah dan Hanabilah waktu itu rukun, dan Asy’ari tidak pernah keluar dari Baghdad hingga meninggal.
10. Penulis mengatakan: Ibnu Kullab konsisten dengan metodologi salaf, dan bahwa metodologi salaf dan ibn Kullab sama, dan itu yang diikuti oleh al-Asy’ari (44, 50). Ucapan ini: -bertentangan dengan ucapan imam Asy’ari; dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin. Al-Asy’ari menyebutkan Hadza Dzikr al-ikhtilaf. Lalu dia menyebut perselisihan firaq-firaq yang ada, termasuk penyebutan Ibnu Kullab dan Ashhab ibn Kullab secara tersendiri (146, 398, 421, 432) sebagaimana menyebut jahmiyyah, murjiah, mu’tazilah syiah dll., dan kemudian mengkhususkan bab “Hadzihi hikayah jumlah qawl ashhhab al-Hadits wa ahl as-sunnah (226).
11. Penulis menjelaskan sebab dituduhnya ibnu Kullab telah menyimpang dari ahlussunnah, dengan mengatakan: “Hal tersebut sebenarnya berangkat dari persolalan yang sepele yaitu pendapat apakah bacaan seseorang terhadap al-Qur`an termasuk makhluk atau bukan.” (47-48)
Saya berhusnuzhan bahwa penulis benar-benar tidak tahu perbedaan antara salaf dan ibnu Kullab, jika tidak berarti benar-benar memilih untuk menyalahi salaf shalih- dan itu mustahil menurut saya-. Imam al-Asy’ari dalam al-Maqalat mengatakan bahwa Ibnu Kullab mengatakan bahwa kalamullah adalah ‘ma’na wahid ( almaqalat,421). Selanjtnya imam asy’ari mengatakan: “Abdullah ibn Kullab mengklaim bahwa yang kita dengarkan dari para pembaca al-Qur`an adalah ibarah ‘an kalamillah (ungkapan dari kalam Allah, bukan kalam Allah itu sendiri, jadi konsekuensinya al-Qur’an yang bisa dibaca ini adalah makhluk), …. dan makna firman Allah yang artinya:
“Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (At-Taubah: 6) artinya hingga ia memahami kalam Allah[1], dan mengandung kemungkinan menurut madzhabnya, artinya adalah: hingga ia mendengar para pembaca al-Qur`an membacanya.”
Jadi menurutnya kalam Allah itu tidak bisa didengar dan tidak bisa dibaca. Yang bisa didengar dan dibaca itu ibarat-ibarat (ungkapan-ungkapannya), dan ungkapan-ungkapan ini berbeda dan berubah, maka ia makhluk.
Apakah ini masalah sepele menurut para ahli hadits dan salaf shalih? Tentu tidak. Ini masalah besar. Menurut imam al-Asy’ari, para ahli hadits ahli sunnah itu mengatakan: “Barang siapa mengatakan dengan lafazh atau waqf maka ia ahli bid’ah menurut mereka.” (Maqalat, hal. 227)
Imam Ahmad, yang imam Asy’ari mengaku mengikuti aqidah beliau mengatakan: “Kaum waqifah adalah mereka yang mengklaim bahwa al-Qur`an itu kalamullah, dan mereka tidak mau mengatakan: “Bukan makhluk”. Mereka kelompok yang paling jahat dan buruk. Sedangkan lafdziyyah adalah mereka yang mengatakan bahwa al-Qur`an itu kalamullah tetapi lafazh kita dengan al-Qur`an ini dan bacaan kita terhadapnya adalah makhluk. Mereka ini adalah kaum jahmiyyah fasiq.” (Risalah as-Sunnah, milik Imam Ahmad, dicetak bersama al-Radd ala al-Jahmiyyah waz-zanadiqah, hal. 82)
Para ulama ahlus sunnah mengingkari Ibnu kullab karena bid’ah-bidahnya:
  1. kalamullah adalah kalam nafsi, la yata’aallaq bilmasyiah
  2. kalamullah adalah makna wahid (amr, nahy, khabar, istikhbar, nida`)
  3. al-Qur`an al-Arabi bukan kalamullah yang Dia berbicara dengannya. Dan al-Qur`an yang diturunkan bukan kalamullah melainkan hikayat atau ibarat dari kalamullah. (jika mu’tazilah mengatakan: al-Quran kalamullah tapi ia makhluk, maka ibn Kullab dan pengikutnya mengatakan: al-Qur`an al-Arabi makhluk, dan bukan kalamullah)
  4. Taurat, Injil, dan al-Qur`an adalah satu hanya beda ‘ibaratnya (ungkapannya)
  5. Allah tidak mampu untuk berbicara, dan tidak berbicara sesuai dengan kehendak dan keinginnannya.
  6. Pembicaraan Allah kepada makhluk yang ia kehendaki tidak lain hanyalah khalq idrak (penciptaan pemahaman makna untuk mereka)
Jadi ini masalah serius. Orang yang mengatakan sepele pasti tidak keberatan menerima penjelasan salaf shalih ahlussunnah, karena sepele. Tetapi kalau keberatan dan menolaknya berarti tidak sepele, dan ia termasuk pengikut ibnu Kullab bukan pengikut safal shalih ahli sunnah.
Keyakinan manusia sebelum ibn kullab tentang Kalamullah ada dua:
Pertama: ahli sunnah dari salaf shalih dan ahli hadits mengatakan: “Allah memiliki sifat kalam, Dia berbicara jika berkehendak dan kapan berkehendak. Dia telah berbicara kepada Musa, dan akan berbicara kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat. Al-Qur`an ini kalamullah bukan makhluk- ini mencakup huruf dan maknanya.”
Kedua: ahli bid’ah dari Mu’tazilah dan Jahmiyyah mengatakan: kalamullah makhluk, yang Dia ciptakan pada selain-Nya. Oleh karena itu mereka mengatakan dengan kemakhlukan al-Quran.
Tidak ada pendapat ketiga hingga datang Ibn Kullab yang mengatakan: Kalamullah qadim, makna wahid, la yata’allaq bimasyiatillah wairadatih.” Lalu datang asy’ariyyah mengatakan: kalam Allah yang bersifat makna itu azali qaim binafsihi, la harf wa la shaut. Adapun lafazh dan huruf yang di al-qur`an maka ia adalah kalam lafdzi, ia makhluk, diciptakan untuk mengungkap makna. Kalam nafsi qadim bukan makhluk (ini yang mereka klaim sesuai dengan salaf, ahl sunnah) dan yang kedua hadits makhluk (ini yang nyata sesuai dengan mu’tazilah jahmiyyah muaththilah)
Dengan demikian:
- ucapan ibn Kullab dan pengikutnya bid’ah dalam Islam, menyalahi Ijma’.
- klaim asyairah bahwa ucapan mereka sesuai dengan salaf adalah tidak benar, karena madzhab salaf sangat terkenal sebelum ibn Kullab. Oleh karena itu pengingkaran salaf terhadap ibn kullab sangat keras.
- Kemudian pengikut ibn Kullab (dalam menolak sifat ikhtiyariyyah, dan mengatakan kalamullah qadim, azali qaim binafsihi, makna wahid) terbagi menjadi dua kelompok:
*Asy’ariyyah; persis seperti ibn Kullab, hanya saja Asy’ari mengatakan ibarat kalamullah bukan hikayat kalamullah seperti ibn Kullab, azaliyyatul amr wan nahy, dan makna wahid Cuma satu sifat, sementara ibn Kullab mengatakan memiliki 5 sifat).
*dan Salimiyyah; menjadikan huruf dan suara azali. Ini agar sesuai dengan ibn Kullab dalam menolak sifat ikhtiyariyyah dari Allah, dan agar sesuai dengan jumhur bahwa kalam itu lafazh dan makna. Masing-masing dari mereka saling mencela. Ini menunjukkan kebatilan masing-masing.
- batalnya klaim ijma’ mereka atas kebenaran ucapan mereka.
Yang benar adalah salaf shalih dan pengikutnya yang mengatakan:
- الكلام صفة قائمة به تعالى تقتضي أن يتكلم بما شاء إذا شاء ومتى شاء، بها الأمر والنهي والوعد والوعيد والخبر والإنشاء
- والقرآن كلام الله تعالى تكلم به حقيقة لم يخلقه في غيره، فهو كلامه حقيقة أنزله على رسوله محمد صلى الله عليه وسلم
- لم ينقل عن أحد من السلف أن القرآن قديم بقدمه تعالى كقدرته وإرادته وكذالك لم ينقل عنهم أنه مخلوق
12. Penulis meyakini bahwa aliran wahhabi (salafi) itu disepakati sebagai kelangsungan dari aliran khawarij pada masa awal-awal islam, yang membawa pengkafiran dan penghalalan darah kaum muslimin selain golongannya. Lalu ia menguatkan ucapannya ini dengan ucapan syaikh Ahmad al-Shawi yang ada dalam Hasyiayah alal Jalalain (237).
Dia menulis: “Diantara pendapatnya (maksudnya syaikh abdul wahhab) yang keluar dari ijma’ ulama adalah pengkafiran seluruh kaum muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya, pengkafiran orang yang melakukan istighatsah dengan nabi atau wali yang sudah meninggal…(241)
Dia juga menulis: “Paradigma pengkafiran wahhabi terhadap kaum muislimin dapat dibaca dalam buku-buku resmi wahhabi seperti Kasyf Syubuhat Al-Musytabihat karya Muhammad Ibn Abdul Wahhab (Riyadh, Dar Zamzam 1414)…Addurar As-Saniyyah ..(283)
Pertama: Seharusnya penulis mengetahui bahwa konsekuensi dari ucapannya ini justru syaikh al-Shawi lah (dan banyak dari Asyairah) yang mengkafirkan kaum muslimin-. Dia mengkafirkan seluruh ulama salaf shalih dan umumnya kaum muslimin yang diatas fithrah dan tidak mengenal takwil ahli Asya’irah, yang mengimani al-Qur`an dan as-Sunnah apa adanya tanpa takwil asy’ari, dengan mengatakan bahwa “mengambil lahiriyyah al-Qur`ân dan as-Sunnah adalah termasuk ushûlu `l-Kufr (pangkal kekufuran)”.[2] Sebab sudah kita maklumi bahwa madzhab salaf shalih adalah mengimani lahiriyyah nushush dengan tetap mensucikan Allah dari kekurangan dan keserupaan dengan makhluk.
Maka Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kaedah: “Apabila ada pertentangan antara akal dengan naql maka akal harus didahulukan dan dimenangkan.” Adalah thaghut kedua, setelah thaghut pertama yaitu “Dalil-dalil lafzhiyyah tidak memberi makna yang yakin.”[3] Lalu Ibnul Qayyim membantahnya dengan 126 bantahan.[4] (baca buku Abul Hasan Al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 109-112)
Kedua: menghukumi wahhabiyyah atau salafiyyah sebagai kelanjutan khawarij adalah gegabah dan zhalim. Klaim pengkafiran seluruh kaum muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya adalah propaganda yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya untuk menjelekkan citra syaikh dan dakwah tauhid.
Beliau berkata:
” وأما القول إنا نكفر بالعموم فذلك من بهتان الأعداء الذين يصدون به عن هذا الدين ونقول سبحانك هذا بهتان عظيم ” الرسائل الشخصية 15/101
“وقوله : إني أكفر البوصيري لقوله يا أكرم الخلق، وقوله إني أقول لو أقدر على هدم حجرة الرسول لهدمتها ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب، وقوله إني أنكر زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وقوله إني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهم وإني أكفر من يحلف بغير الله فهذه اثنتا عشرة مسألة جوابي فيها أن أقول : ((سبحانك هذا بهتان عظيم )) ” . الرسائل الشخصية 11/64

Ketiga: masalah isthighatsah kita muat serial makalah tentang itu di Qiblati, sampai serial ke-5 belum ada yang masuk, kita berharap dengan adanya acara ini akan ada dialog ilmiah di sana.
Keempat: yang ada di dalam kitab Kasyfu As-Syubuhat misalnya bukan pengkafiran kaum muslimin tetapi ajakan kepada tauhid; penyembahan kepada Allah semata dan penjelasan tentang syiriknya perbuatan menjadikan perantara antara manusia dan Allah, yang mana mereka bertaqarrub kepada wasithah tersebut apakah ia nabi, malaikat, wali, pohon, kuburan atau jin. Syaikh mengajak agar do’a, nadzar, sembelihan, itstighatsah dan seluruh ibadah agar ditujukan kepada Allah semata. Kemudian syaikh membantah syubhat-syubhat yang dipakai oleh orang-orang untuk membenarkan syirik mereka.
13. Tuduhan diantara kesesatan ibn Taimiyah adalah ucapannya wujud alam ini qadim (239)
Tuduhan ini tidak benar. Baca Minhaj as-sunnah 1/299; 1/212, Muwafaqat Shahih al-Manqul li sharih al-Ma’qul, 1/275)
14. Ada banyak fakta yang membuktikan kebersihan ibn taimiyah dari tuduhan itu dia mengkafirkan Ibn Sina dan para Failasuf karena meyakini alam qadim, Tuduhan pembantaian wahhabi terhadap kaum muslimin (282):
pertama: ini masalah sejarah konflik/perselisihan dan pertikaian yang terjadi diantara umat Islam, dan kita tidak menyaksikannya maka kita tidak layak menghukumi begitu saja, atau sepihak.
kedua : jika kita menghukumi begitu saja maka juga ada informasi yang menunjukkan bahwa madzhab asy’ari menyebar di Afrika dan Andalus dengan paksaan, ancaman dan kekerasan. Yaitu setelah lengsernya daulah al-Murabithin dan berkuasanya kaum zindik Tumartiyyin al-Muwahhidin. Tidaklah tersebar Asy’ariyyah disana kecuali dengan besi dan api setelah pembantaian yang dilakukan oleh para pengikut ibn Tumart (524 H), yang dia itu adalah murid abu Hamid Ghazali as-Shufi al-Asyari, terhadap ahlus Sunnah Waljama’ah (Salafiyyin) di awal abad ke-6 H. Mereka menyebut dirinya Muwahhidin karena mereka mengkafirkan kenbanyakan kaum muslimin yang mereka anggap mujassimin. Mereka membantai ribuan kaum muslimin yang sunni, dst.
15. Tuduhan, ibn Taimiyah meyakini kefanaan neraka (240) adalah batil.
Baca : Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah, hal. 177; Majmu’ Fatawa: 18/307; disebut oleh al-Abani dalam mukadimah Raf’ al-Astar Liibthal Adillah al-Qailin bifana` anNar.

[1] Karena menurutnya kalam Allah itu tidak bisa didengar dan tidak bisa dibaca. Yang bisa didengar dan dibaca itu ibarat-ibarat (ungkapan-ungkapannya).
[2] Ahmad ibn Hajar al-Buthomi, Tanzîhu `s-Sunnah wa `l-Qur’an ‘An Ai Yakûna Min Ushûli `d-Dhalâl wa `l-Kufrân”, h. 11; Syarif ibn Muhammad Hazza’ dalam tahqiqnya terhadap kitab al-Asma’ was-Shifat karya Muhammad al-Amin as-Syinqithi, Maktabah Tau’iyyah Islamiyyah, Jizah, 1/1408, h. 38.
[3] Ibnul Qayyim, as-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyyah wal-Mu’atthilah, Tahqiq DR. Ali ad-Dakhilullah, Darul Ashimah, Riyadh, cet. 3/1418, jilid 1/95-97; 2/632; 3/796.
[4] Ibnul Qayyim, as-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyyah wal-Mu’atthilah, jilid 3 dari awal sampai akhir.

sumber :
http://www.gensyiah.com/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah-wal-jamaah-bag-2.html

Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 1)

PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
Jawaban Terhadap Aliran Salafi”
Tulisan: Muhammad Idrus Ramli
Oleh
Agus Hasan Bashori[1]
makalah cover Madzhab Al Asyari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 1)
الحمد لله وبعد : لقد بعث الله نبينا محمدًا صلى الله عليه وسلم- بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون، وقد تحقق هذا كما وعد- سبحانه وتعالى وقد ترك أمته على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك
Setelah membaca buku yang ditulis Gus Muhammad Idrus ini ternyata ada banyak informasi, asumsi, argumentasi, persepsi dan kesimpulan yang kurang atau salah bahkan menyesatkan. Dalam kesempatan yang sangat singkat ini kita bahas beberapa hal, antara lain:
  1. Istilah Asy’ari dan Salafi
Judul buku melawankan antara al-asy’ari dan as-Salafi- memang demikian adanya, namun penulis mengunggulkan al-asy’ari atas as-salafi.
Asy’ari adalah nisbat kebada imam abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H). Sedang salafi adalah nisbat kepada as-salaf as-shalih yaitu generasi terdahulu dari para sahabat dan tabi’in dan atba’ attabi’in.
Jika nisbat kepada seorang imam dari abad ke 3 boleh dan terpuji tentu nisbat kepada seluruh imam dari 3 generasi awal islam yang pertama adalah lebih boleh dan lebih terbuji.
Jika mengikuti seorang imam di abad ketiga –yang tidak ma’shum- diyakini benar tentu mengikut seluruh imam pada 3 kurun waktu yang utama –yang ijma’ mereka ma’shum- lebih dijamin kebenarannya.
Jika mengikuti seorang imam pada abad ketiga tidak ada perintahnya maka mengikuti para ulama salaf ada banyak perintahnya, bahkan sebagai tanda golongan yang selamat.
Imam asy’ari bergantung pada salaf, bukan sebaliknya dan imam asy’ari diukur dengan salaf bukan sebaliknya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para ulama salaf sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
Abu Hamzah al-A’war berkata: Ketika maqalah-maqalah (pemikiran akidah) marak di Kufah saya mendatangi Ibrahim al-Nakha’I ( mufti dan faqih Irak W. 96 ), saya katakan: “Wahai Abu Imran, Tidakkah anda melihat makalah-makalah yang beredar di Kufah? Maka dia berkata:
أَوَّهْ، دَقَّقُّوْا قَوْلاً وَاخْتَرَعُوْا دِيْنًا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ لَيْسَ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَلاَ مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا: هَذَا هُوَ اْلحَقُّ وَمَا خَالَفَهُ بَاطِلٌ، لَقَدْ تَرَكُوْا دِيْنَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، إِيَّاكَ وَإِيَّاهُمْ.
“Oh. Mereka merumitkan ucapan dan merekayasa agama dari nafsunya sendiri, tidak dari kitab Allah juga tidak dari sunnah Rasul r, lalu mereka mengatakan: Inilah yang benar, dan yang menyalahi adalah batil. Sungguh mereka telah meninggalkan agama Nabi Muhammad r . Jauhilah mereka olehmu.” (Hilyatul Auliya’: 4/223)
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa istilah salafiyah dan salafi adalah istilah syar’i yang harus diterima, lebih baik dan lebih mulia dari pada istilah asya’irah.
  1. Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah[2] (320-324/330 H). (rinciaannya ada di buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 19-32)
3. Adapun pernyataan penulis bahwa tesis perjalanan pemikiran imam Asy’ari yang 3 fase itu disebarluaskan oleh wahhabi (h. 39, maka ini mengesankan sentimen penulis terhadap wahhabi cukup tingggi, sebab Ibnu Katsîr j (774 H) dan Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) bukan wahhabi dan tidak mengenal wahhabi. Juga tidak setiap orang yang mengingkari adanya 3 fase itu bukan salafi, sebab masalah periodesadsi itu ijtihad, yang penting sepakat bahwa antara kitab-kitab awal pasca mu’tazilah yang belum berintisab dengan Imam Ahmad dengan kitab-kitab akhir setelah berintisab dengan imam Ahmad ada perbedaan, yaitu yang akhir lebih kental kepada salaf ahli hadits, dan menyatakan diri mengikut ucapan mereka.
4. Ucapan penulis: seandainya kehidupan asy’ari seperti dalam tesis diatas tentu akan populer dan tersebar luas sebagaimana halnya informasi keluarnya dari faham mu’tazilah (40). Saya katakan : Justru itu sudah terjadi, sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125). Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
5. Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun, (dikutip oleh penulis hal 42). Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir (hal. 20)
Penulis kurang transparan saat menyebut “dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)
6. Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852). Jawaban klaim ini ada pada buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi hal. 75-85). Lima ulama ini bisa sebagai contoh bahwa klaim yang sama terhadap ulama ahli hadits yang lain perlu dikritisi.
7. Contoh klaim yang serupa adalah bahwa imam Bukhari (256 H) dan Thabari mengikuti ibnu Kullab (47, 50)
Ini adalah bathil, tidak bisa diterima. Imam Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.[3]
Bahkan ia dia berkata:
من زعم أني قلت لفظي بالقرآن مخلوق فهو كذاب فإني لم أقله (الالكائي: رقم: 611)
Imam Thabari imamul mufassirin (310 H) juga demikian, meskipun dia memiliki kitab Sharih as-Sunnah, dan at-Tabshir fi ma’alimiddin tetap saja mereka klaim sebagai asyairah. Itu belum lagi dengan kitab tafsirnya. Padahal jelas at-Thabari menetapkan al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, dan membatalkan akidah asy’ariyyah yang mengatakan bahwa ada dua al-qur`an: yang satu kalamullah bukan makhluk, yaitu yang ada pada diri Allah (kalam nafsi, makna), dan yang satunya lagi makhluk, yaitu (kalam lafzhi) yang diucapkan, dibaca, dan ditulis.
Oleh karena kita tidak boleh percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang lain.

[1] Disampaikan dalam bedah buku Madzhab al-Asy’ari. Pembahas: Muhammad Idrus Ramli (penulis). Pembanding dan penilai: 1. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. 2. Prof. Dr. Jamaluddin Miri, Lc., MA. 3. Ahmad Muzhofar Jufri, Lc., MA. Pada tanggal 11 Juli 2009, di Magnet Zone Bookstore & Café Surabaya.
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
[3] Lihat al-lalakai, nomor 610

sumber :
http://www.gensyiah.com/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah-waljamaah-bag1.html

Sabtu, 17 September 2011

Penulis AS: Serangan 9/11 Kerjaan Orang Dalam AS dan Mossad


Seorang penulis Amerika terkemuka mengatakan ia percaya bahwa serangan 9/11 yang menewaskan hampir 3.000 orang, dilakukan oleh "oknum-oknum di dalam negara AS sendiri dan kemungkinan besar adalah agen Israel Mossad."
"9/11 telah pada dasarnya digunakan untuk memasukkan uang ke dalam kompleks industri militer yang terancam setelah runtuhnya Uni Soviet," Enver Masud, penulis "9/11 Unveiled," mengatakan kepada Press TV Sabtu lalu.
"Belanja pertahanan naik karena serangan 9/11 yang tidak dilakukan oleh 19 pembajak Arab sebagaimana diklaim, tetapi serangan itu dilakukan oleh oknum di AS dan kemungkin besar agen Israel Mossad," kata Masud.
Pendiri "Dana Kebijaksanaan" tersebut mengatakan bahwa "kompleks industri militer AS telah meningkat pasca 9/11, meneror dunia dan mengambil kebebasan di rumah-rumah warga Amerika."
Pada 11 September 2001, serangkaian serangan terkoordinasi yang dilakukan di Amerika Serikat menyebabkan hampir 3.000 orang tewas.
Selama insiden itu, 19 orang yang dilaporkan sebagai anggota al-Qaidah membajak empat pesawat jet komersial dan menambrakkan dua dari pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City.
AS, di bawah pemerintahan mantan Presiden George W. Bush, menginvasi Afghanistan pada tahun 2001 setelah mengklaim bahwa serangan 9/11 dilakukan oleh anggota al-Qaidah yang dilindungi oleh rezim Taliban di Afghanistan pada saat itu.
AS juga menyerang Irak pada tahun 2003 mengklaim bahwa negara Timur Tengah tersebut memiliki senjata pemusnah massal.(fq/prtv)
Komentarku ( Mahrus ali )
Tuduhan teroris arab bukan yahudi  yang membuat  serangan WTC adalah kedustaan Yahudi  untuk  menghancurkan  negara muslim ( Afganistan )  yang memeraktekkan sariat Allah bukan UU Thaghut . Jangan percaya mereka , media massanya atau  buku – bukunya . Allah menyatakan : ‘
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

Selasa, 06 September 2011

Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idul Fitri 1432 H (Tanggapan Atas Kritik Thomas Djamaluddin)

Prof. Dr. H Syamsul Anwar, MA.



Kirim Print
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Alhamdulillah hari raya Idulfitri 1432 H telah dapat dirayakan dengan khidmat. Walaupun ada perbedaan tentang hari jatuhnya Idulfitri itu, di mana pada satu sisi ada yang menjatuhkannya pada hari Selasa 30 Agustus 2011 dan di sisi lain ada yang menjatuhkannya pada hari Rabu 31 Agustus 2011, namun masing-masing pihak telah dapat menjalankannya dengan damai dan rukun, tanpa terjadi pertikaian antara pihak-pihak yang merayakannya pada hari berbeda itu. Bahkan masyarakat umum yang tidak begitu memahami sumber masalah perbedaan itu dapat memilih hari yang mereka inginkan untuk ber-Idul Fitri.
Akan tetapi meskipun Idulfitri telah berjalan dengan damai dan rukun, tetap saja tersisa permasalahan yang timbul dari perbedaan itu. Tidak dipungkiri bahwa perbedaan jatuhnya hari raya itu adalah suatu ketidaknyamanan karena ada ketidakbersamaan kaum Muslimin dalam merayakannya. Di satu sisi ada yang saling kunjung ke rumah tetangga dan makan-makan, sementara yang lain masih berpuasa. Namun juga harus diakui bahwa penyatuan jatuhnya hari Idulfitri itu tidak gampang, tidak semudah sepasang remaja bikin janji ke pantai bersama, “Mas Minggu besok rekreasi bareng ya di pantai, soalnya habis ujian semester pikiranku buntet banget, perlu refreshing.”  “Ya, setuju, aku juga sama. Dah, besok kuampiri ya!”  Selesailah masalah. Kesepakatan untuk “rekreasi Minggu besok” tidak memerlukan pertimbangan ilmiah yang mendalam karena itu hanya soal selera dan bisa diputuskan dengan prinsip “setuju-setuju saja”. Namun tentu tidak demikian halnya dengan penentuan jatuhnya hari raya semisal Idulfitri atau Idul Adha. Masalah ini bukan soal selera. Masalah ini memerlukan suatu kajian panjang dan mendalam baik dari segi ilmu syariah maupun dari segi ilmu astronomi. Keputusan itu tidak dapat diambil berdasarkan prinsip “setuju-setuju saja”. Ini semua tentu menjadi tantangan para ilmuwan terkait baik dari bidang syariah maupun astronomi.
Diskusi mengenai masalah ini cukup ramai. Dan dalam diskusi yang ramai itu ada pakar yang langsung menyalahkan Muhammadiyah karena terlalu jumud berpegang kepada hisab wujudul hilal (walaupun Muhammadiyah juga dapat mengatakan hal yang sama bahwa pihak lain terlalu kaku berpegang kepada rukyat atau hisab imkanur rukyat 2 derajat yang tidak ilmiah itu). Dikatakan, “sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal.”  Dikatakan lagi, “Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat.  Tentu saja mereka [adalah] anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak paham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.” “Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.”
Tampaknya nada statemen ilmuwan tersebut sangat memihak dan sedikit emosional juga terasa ada semacam (dengan bahasa diperhalus) “kebanggaan” tersembunyi atas status sebagai astronom senior. Seolah-olah apa yang berjalan sekarang ini, itulah yang betul dan karena itu tidak dikritik. Justru yang mengkritik dan menolak, dalam hal ini Muhammadiyah, adalah pihak yang harus dipersalahkan sebagai biang keladi permasalahan. Dalam sejumlah tulisan pakar bersangkutan, penulis belum menemukan kritik-kritiknya terhadap penetapan awal bulan kamariah yang berlaku sekarang, kecuali kritik terhadap kriteria yang dipakai sebagian ormas seperti Muhammadiyah. Juga disayangkan pakar bersangkutan belum pernah menyarankan satu rancangan kalender pemersatu yang pasti padahal di tangannya terdapat perangkat ilmu untuk itu.
Apakah orang Muhammadiyah sangat fanatik terhadap hisab wujudul hilal? Hal itu mungkin saja demikian, tetapi jelas tidak semuanya. Tentu banyak ahli-ahli falak Muhammadiyah yang juga mengerti hisab yang lain dan dapat membandingkannya dan kemudian dari hasil perbandingan itu menjatuhkan pilihan pada hisab wujudul hilal. Penulis sendiri adalah warga Muhammadiyah (dengan bidang studi syariah, bukan astronomi) yang tentu secara emosional akan sangat bersimpati dengan kebijakan penetapan awal bulan Muhammadiyah. Tetapi di sini penulis tidak ingin membela hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal hanyalah salah satu metode hisab penentuan awal bulan di antara sekian metode hisab yang ada. Walaupun demikian tentu boleh memberi pendapat. Cuma memang pasti akan dirasakan sebagai sebuah pendapat apologis karena diberikan oleh orang yang secara emosional adalah bagian daripadanya. Namun demikian silakan pembaca untuk melihatnya secara obyektif saja.
Kalau soal usangnya, menurut penulis, hisab wujudul hilal tidak usang-usang banget. Hisab ini merupakan perkembangan dari hisab-hisab sebelumnya yang dirasa tidak dapat memberikan kepuasan. Di Arab Saudi, hisab wujudul hilal dipakai oleh Pusat King Abdul Aziz untuk Pengembangan Sains dan Teknologi, yang bertanggung jawab atas penyusunan kalender resmi pemerintah Arab Saudi Kalender Ummul Qura yang berkembang luas di berbagai bagian dunia termasuk digunakan oleh Windows Vesta, baru pada tahun 1424 H (baru sejak 7 tahun lalu) karena kasus bulan Rajab 1424 H (Agustus 2003). Sampai saat itu kaidah kalender yang digunakan adalah moonset after sunset (artinya bahwa apabila pada sore hari ke-29 bulan berjalan, bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari, maka malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru). Namun ternyata kaidah kalender tersebut mengalami problem dengan “hilal” Rajab 1424 H pada sore Rabu 27 Agustus 2003 M. Pada sore itu matahari terbenam di Mekah (Ka’bah) pukul 18:45 Waktu Saudi dan bulan terbenam 8 menit kemudian, yakni pukul 18:53 Waktu Saudi. Jadi kriteria bulan baru telah terpenuhi, yaitu bulan tenggelam sesudah tenggelamnya matahari, sehingga mestinya malam Kamis 28 Agustus 2003 M dan keesokan harinya (Kamis 28 Agustus 2003 M) adalah tanggal 1 Sya’ban 1424 H. Tetapi ternyata saat matahari terbenam sore Rabu 27 Agustus 2003 itu belum terjadi ijtimak (konjungsi) karena ijtimak terjadi hampir dua jam kemudian, yakni pukul 18:26 Waktu Saudi. Karena kasus ini, para penanggung jawab kalender Ummul Qura memperbaiki kaidah kalendernya dengan menambahkan satu parameter baru, yakni saat matahari terbenam harus sudah terjadi ijtimak. Sejak saat itu kemudian kalender Ummul Qura memakai wujudul hilal. Jadi ini adalah perkembangan dari metode sebelumnya yang dirasa tidak memuaskan.
Di dalam Muhammadiyah hisab wujudul hilal sudah digunakan sejak abad yang lalu. Sejak penulis mulai masuk menjadi pengurus Muhammadiyah tahun 1985 di PMW DIY dan sejak tahun 1990 di Pimpinan Pusat, hisab ini sudah dipakai dan terus berlaku hingga sekarang. Ada perubahan, namun hanya perubahan cara menghitung, bukan perubahan kriteria (kaidah memulai bulan baru). Harap dibedakan antara kaidah memasuki bulan baru dan metode perhitungan. Kaidah memasuki bulan baru dalam hisab wujudul hilal adalah tiga parameter yang kita semua sudah tahu, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, (3) saat matahari terbenam hilal di atas ufuk. Kriteria ini adalah suatu kriteria yang sifatnya non penampakan, karena itu tidak memerlukan observasi untuk mengujinya seperti halnya peristiwa ijtimak dan terbenamnya matahari tidak diobservasi. Kalau diragukan akurasi kriteria ini, jangan-jangan bulan sebetulnya di bawah ufuk, namun diklaim di atas ufuk karena kurang akurasinya perhitungan, maka ini bukan soal kriteria itu sendiri, melainkan ini adalah soal akurasi metode menghitung posisi bulan. Metode menghitung ini bisa terus menerus diperbaiki. Dalam praktik wujudul hilal di Muhammadiyah metode menghitung ini mengalami perkembangan dalam hal daftar ephemeris yang menjadi sumber data benda langit pada waktu tertentu yang digunakan. Di Zaman Kiyai Wardan, sebagaimana disebutkannya dalam bukunya Hisab Urfi dan Hakiki, digunakan daftar yang diambilnya sebagian dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala ar-Rashd al-Jadid dan dari Zij Aala’uddin Ibn Syathir, kemudian pada zaman Sa’duddin Dajmbek digunakan digunakan nautical almanac, lalu terakhir digunakan Ephemeris Hisab Rukyat.Bahkan rumus hitungannya pun terbuka untuk dikoreksi tanpa mengubah kaidah memasuki bulan baru itu sendiri. Kalau metode hitung ini juga mau diuji secara empiris pun bisa dilakukan tanpa mengubah kriterianya. Ketika hilal dihitung dengan metode ini ternyata tingginya adalah 6 derajat seperti jelang Ramadan lalu, maka silakan diuji melalui observasi apa memang betul tingginya 6 derajat. Kalau betul, berarti hitungan itu akurat atau mendekati akurat. Kalau tidak, berarti metode menghitungnya harus diperbaiki tanpa mengubah kaidah bulan baru itu sendiri. Jadi alasan bahwa hisab wujudul hilal lemah karena tidak dapat diuji secara empiris adalah tidak relevan. Apa yang dikemukakan di atas adalah suatu pendapat, tidak bermaksud memberikan apologi terhadap keunggulan wujudul hilal. Silakan pembaca menilainya.
Penulis juga ingin mengajak pembaca untuk melihat suatu yang menurut penulis adalah hal positif dalam kebijakan penetapan awal bulan Muhammadiyah itu. Tetapi ini mungkin sekali lagi terasa sebagai sebuah apologi karena dikemukakan oleh orang yang merupakan bagian dari sistem bersangkutan. Tetapi tujuan penulis di sini tidak hendak berapologi. Hanya ingin mengemukakan pendapat. Ini tentu sah-sah saja, dan sekali lagi silakan pembaca melihatnya secara obyektif saja. Hal positif dimaksud adalah bahwa dalam kebijakan penetapan awal bulan Muhammadiyah itu terkandung suatu nilai edukasi bagi masyarakat luas bahwa suatu sistem penanggalan yang baik adalah suatu sistem kalender yang dapat memberikan penjadwalan waktu yang akurat dan pasti jauh ke depan sehingga bisa dipedomani jauh-jauh hari sebelumnya. Sistem yang tidak dapat memberikan penjadwalan waktu (hari/tanggal) yang pasti jauh ke depan adalah suatu sistem yang buruk dan bertentangan sifat sebagai sebuah kalender yang terstruktur secara seksama, bahkan bertentangan dengan maksud dari kalender itu sendiri. Sistem kalender bertujuan untuk memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya disesuaikan dengan sistem penjadwalan waktu yang dimilikinya. Untuk itu sistem waktu tersebut harus akurat dan pasti agar rencana kegiatannya tidak menjadi berantakan akibat sistem waktu yang tidak pasti. Suatu sistem penanggalan yang akurat dan bagus harus dapat menjadwalkan waktu secara pasti ke depan dan harus dapat dilacak secara pasti pula jadwal waktunya di masa lalu. Untuk itu penetapan jadwal waktu itu harus lahir dari kaidah matematis kalender itu sendiri tanpa campur tangan otoritas luar mana pun selain dari kaidah kalender tersebut. Apabila setiap penetapan momen penting ditentukan oleh suatu otoritas lain di luar kaidah matematis kalender itu sendiri, maka kita akan menghadapi penjadwalan waktu yang tidak pasti karena jadwal waktu tersebut akan sangat tergantung kepada ketetapan yang akan dikeluarkan pada detik-detik akhir menjelang saat dimulainya momen bersangkutan. Sebaliknya juga kita tidak dapat melacak jadwal waktu penanggalan tersebut di masa lalu karena tidak lahir dari kaidah matematisnya yang ajek. Kita harus mencari arsip surat keputusan otoritas yang menetapkannya hari apa ia menjatuhkan 1 Syawal tahun tertentu di masa lampau. Ini adalah sistem yang buruk. Saudara-saudara kita umat Kristiani dalam menentukan kapan melakukan selebrasi hari Natal telah dapat mengetahui hari jatuhnya jauh hari sebelumnya berdasarkan kaidah kalender Masehi yang mereka gunakan, bukan karena keputusan otoritas penguasa yang melakukan isbat menjelang saat dimulainya momen itu.
Jadi apabila Muhammadiyah dikatakan terlalu kuat berpegang kepada hisab, hal itu adalah karena alasan ini. Dari segi kesederhanaan prosedur, biaya murah, dan kemampuan memberikan kepastian jadwal tanggal di masa depan, pendekatan Muhammadiyah jauh lebih maju. Dalam sistem kalendernya, penentuan tanggal merupakan hasil dari logika kalender sendiri tanpa campur tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memang ia tidak mempunyai kewenangan itu. Pimpinan Pusat hanya mengumumkan hasil dari sistem kalender itu sendiri dan karena itu dapat dilakukannya jauh hari sebelumnya dan itu sangat memudahkan bagi masyarakat untuk menyusun dan menyesuaikan kegiatan hidupnya. Memang, kalender Muhammadiyah itu belum bersifat global dan ini tentu menjadi tantangan para ahli ilmu falak dan astronom Muhammadiyah untuk melakukan kajian guna menyempurnakan sistemnya hingga dapat menjadi suatu kalender pemersatu yang baik.
Kebijakan penggunaan hisab dengan memastikan penjadwalan waktu jauh hari sebelumnya sekaligus merupakan suatu kritik yang tidak diucapkan, melainkan disampaikan melalui praktik, terhadap kebijakan penjadwalan waktu dalam kalender yang, maaf kalau ini subjektif, amat buruk yang berlaku sekarang. Bayangkan menjelang detik-detik terakhir, awal bulan baru belum dapat ditentukan karena otoritas “berwenang” belum menetapkannya. Betapa tidak buruk, orang Muslim di Indonesia bagian timur sudah pukul 10:00 malam WIT masih belum mendapat kepastian apakah masih akan shalat tarawih atau akan melakukan takbiran untuk menyambut datangnya lebaran. Kalau ternyata besoknya belum lebaran berarti mereka akan melaksanakan shalat tarawih setelah jam 10:00 malam itu yang mereka mungkin sudah ngantuk dan lelah karena seharian berpuasa dan bekerja berat. Seandainya ada suatu sistem kalender yang pasti yang bisa menetapkan penjadwalan waktu jauh hari sebelumnya berdasarkan kaidah kalender itu sendiri, maka para tokoh alim ulama, para pakar ilmuwan dan para pejabat yang berkumpul di sidang isbat itu tentunya akan bisa berada di masjid untuk shalat tarawih bila menurut kalender lebarannya lusa, atau takbiran guna menyambut lebaran besok harinya.
Penulis setahun lalu pernah mendapat keluhan dari mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri di mana umat Islam minoritas. Keluhannya adalah mendapat kesulitan untuk menyewa tempat shalat id karena tempat tersebut harus dibooking jauh hari sebelum id, sementara ketentuan lebarannya belum pasti kapan karena masih menunggu hasil rukyat. Serta banyak lagi keluhan lain semisal pekerja Muslim di negara minoritas Islam sulit mendapatkan cuti Idulfitri karena tidak bisa memberi kepastian jatuhnya id jauh hari sebelumnya.
Semua ini terjadi karena tiadanya suatu sistem kalender yang memastikan tanggal berdasarkan kaidah kalender itu sendiri. Yang ada adalah menanti keputusan otoritas kekuasaan yang akan memutuskannya pada detik-detik terakhir menjelang hari H. Selain itu penyelenggaraan sidang isbat untuk menentukan kepastian tanggal itu juga tentu memakan biaya besar, apalagi ditambah dengan biaya tim pengintai hilal di puluhan titik pengamatan. Apabila sistem kalender menggunakan metode yang lebih sederhana tetapi pasti tentu biaya itu tidak perlu dikeluarkan. Apa itu bukan sebuah pemborosan yang sebetulnya bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak. Akan tetapi hal ini memang tidak dapat dielakkan dalam suatu sistem penetapan awal bulan yang berbasis rukyat karena rukyat harus divalidasi oleh otoritas berwenang.
Para astronom yang terlibat dengan persoalan ini nampaknya tidak memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Tidak pernah terdengar kritik-kritik mereka, seakan sistem yang ada ini adalah hal yang wajar saja. Untuk sebagian mungkin dapat dimaklumi karena mereka adalah bagian dari sistem itu sendiri. Bahkan bukan hanya sekedar bagian, melainkan juga adalah pendukung bersemangat yang tidak kurang “fanatiknya dibandingkan dengan kefanatikan pendukung wujudul hilal dalam Muhammadiyah.” Para pendukung sistem sekarang ini juga terbelenggu oleh metode mereka sendiri sehingga tidak dapat memanfaatkan perangkat keilmuan yang ada di tangan mereka untuk suatu pembaruan yang berorientasi kepada suatu sistem penanggalan yang dapat menjadwalkan waktu secara pasti di masa depan dan juga dapat melacak tanggal di masa lalu secara akurat melalui kaidah sistem itu sendiri.
Syarat untuk pembaruan ini memang berat. Kita harus ridha meninggalkan rukyat yang sesungguhnya hanyalah warisan masa lalu yang telah usang dan tidak lagi mampu memenuhi hajat sistem penanggalan umat Islam kontemporer. Bahkan, menurut Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, “sebab umat Islam belum dapat memiliki suatu sistem penanggalan global terpadu adalah karena mereka masih terlalu kuat berpegang kepada rukyat.” Jadi sudah saatnya kita beranjak dari rukyat jika kita ingin mencapai suatu sistem penanggalan yang baik. Ini bukan pendapat subjektif personal, melainkan hasil dari sebuah konferensi internasional yang juga dihadiri oleh para pakar yang sebagian mereka memiliki reputasi dunia. Pada butir kedua dari kesimpulan Temu Pakar II tahun 2008 ditegaskan bahwa para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat. Para ahli fiqih pun banyak yang berpendapat demikian. Bahkan Syeikh Syaraf al-Qudhah, setelah melakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits terkait masalah hisab-rukyat menegaskan al-ashlu fi itsbat asy-syahri an yakuna bil-hisab (pada asasnya penetapan awal bulan itu adalah dengan hisab). Di sini bukan tempatnya untuk menjelaskan argumen beliau untuk pandangannya tersebut.
Hisab imkanu rukyat, yang sering diklaim sebagai alternatif terbaik, bukannya tanpa masalah. Kriteria imkanu rukyat sendiri ada sebanyak pakar yang mengusulkannya. Akan tetapi ini mungkin bisa diatasi dengan para pakar itu sendiri bersepakat. Tetapi bukan sekedar sepakat, melainkan berdasarkan hasil riset yang komprehensif. Akan tetapi terlepas dari soal kriteria itu, hisab imkanu rukyat yang ada sekarang masih belum dapat menyatukan penanggalan umat Islam. Sebagai contoh adalah Kalender Hijriah Universal (al-Taqwim al-Hijri al-‘Alami) yang dibuat oleh Muhammad Audah (Odeh). Kalender ini didasarkan kepada kriteria imkanu rukyat Audah sendiri sebagai hasil analisis statistik terhadap 737 hasil rukyat akurat dan teruji. Namun problemnya kalender ini masih harus membelah dunia menjadi dua zona tanggal yang pada masing-masingnya berlaku tanggal berbeda pada tahun tertentu. Akibatnya kalender ini tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan dunia lainnya. Audah adalah pendukung rukyat bersemangat. Baginya tidak mungkin memulai awal bulan baru di dunia Islam tanpa terjadinya imkanu rukyat di salah satu tempat di kawasan dunia Islam yang terbentang dari Maroko hingga Indonesia. Namun kalendernya sendiri dalam sejumlah kasus menjadikan dunia Islam masuk bulan baru pada hal imkanu rukyat dengan teropong hanya terjadi pada kawasan sangat kecil di barat Portugal atau di bagian barat Inggris. Dari 20 tahun jadwal tanggal dalam Kalender Hijriah Universal Audah ini (sejak 1431 H s/d 1450 H) terdapat 9 kali (45 %) terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah sehingga menimbulkan masalah kapan melaksanakan puasa Arafah.
Pendapat bahwa hari Arafah hanya penamaan hari 9 Zulhijjah, sama dengan hari Nahar (10 Zulhijjah) dan hari Tasyrik (11-13 Zulhijjan), dan hari Arafah di Arafah adalah hari wukuf, tetapi tidak harus sama untuk seluruh dunia sehingga puasa Arafah boleh beda harinya dengan hari wukuf di Arafah, pendapat tersebut bukanlah suatu penjelasan ilmiah. Pendapat ini hanya penjelasan sementara yang sifatnya lebih politis, bukan syar’i, yang hanya dapat dipegangi sementara waktu saat kalender umat Islam masih kucar kacir. Pendapat ini hanya untuk menenangkan masyarakat yang tanggal 9 Zulhijahnya jatuh berbeda dengan hari Arafah di Mekah. Apabila dikatakan bahwa mereka yang berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah di tempatnya sementara di Mekah sudah Idul Adha (10 Zulhijah) tidak sah puasanya, maka akan timbul kebingungan di tengah masyarakat yang tidak tahu apa-apa tentang problem penanggalan Islam. Akan tetapi secara ilmiah dan berdasarkan sistem penanggalan yang valid, hari Arafah harus jatuh sama di seluruh dunia, dan kalender yang menjatuhkannya berbeda adalah kalender yang tidak valid.
Itulah mengapa dikatakan bahwa penyatuan penanggalan Islam harus bersifat global. Siapa pun yang membuat suatu rancangan kalender Islam, maka kaidah kalender itu harus bersifat global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, sehingga penanggalan tersebut benar-benar menjadi suatu sistem penandaan hari yang akurat di dalam aliran waktu di masa lalu, kini dan akan datang. Kalau dikatakan bahwa perbedaan jatuhnya hari Arafah (9 Zulhijah) itu adalah suatu konsekuensi yang tidak terelakkan, maka ini dapat dikatakan sebagai suatu konsekuensi yang buruk. Konsekuensi buruk ini tentu timbul dari anteseden yang buruk pula, yaitu rukyat atau hisab imkanu rukyat yang selalu membelah bumi dan kurve yang membelah bumi itu dijadikan batas tanggal.
Akan halnya imkanu rukyat 2 derajat sebagaimana diamalkan di Kemenag adalah kaidah kalender yang sama sekali tidak ada dasar syar’inya apalagi dasar astronomis. Semua astronom tentu sangat mengetahui hal ini. Para meter tunggal saja, yaitu ketinggian, adalah parameter yang buruk. Para astronom sudah hampir sepakat bahwa parameter imkanu rukyat yang baik haruslah sekurangnya ganda, misalnya ketinggian plus elongasi, atau ketinggian plus lebar permukaan bulan yang tersinari matahari yang menghadapi ke bumi, dan lain sebagainya. Parameter tunggal, seperti ketinggian saja, elongasi saja, umur bulan saja atau mukus hilal saja, sama sekali tidak akan dapat meramalkan visibilitas hilal secara lebih shahih. Apalagi kalau parameter tunggal itu cuma dengan ukuran ketinggian 2 derajat. Ini dalam kasus tertentu hanya akan membuat kita hidup dalam ilusi atau bahkan bisa juga dalam kepalsuan atau kebohongan. Apabila ketinggian bulan berada antara 2 s/d 5 derajat, maka ini berpotensi untuk terjadinya apa yang dikatakan di atas. Seperti kasus Ramadan tahun lalu, ketinggian hilal hanya sekitar 2,5 derajat. Namun diputuskan hilal telah dapat terlihat karena ada saksi-saksi yang mengklaim dapat merukyat dan karenanya keesokan harinya dinyatakan bulan baru (seperti Ramadan 1431 H). Padahal tidak ada seorang astronom pun dapat membuktikannya terlihat. Data ketinggian hilal Ramadan 1431 H itu jauh di bawah kriteria imkanu rukyat Audah, bahkan juga kriteria Istanbul 78. Salah seorang teman dosen pengajar ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun pengalamannya mengikuti rukyat belum pernah terjadi bahwa hilal dengan ketinggian di bawah 5 derajat dapat terukyat. Apa ini tidak berarti bahwa kita hidup dalam ilusi atau di bawah bayang-bayang kepalsuan. Kenapa kita tidak realistis saja? Kenapa kita tidak mengambil sistem yang lebih sederhana, tidak berbiaya tinggi, tetapi dapat memberikan kepastian jadwal tanggal jauh ke depan sehingga memudahkan kehidupan kita? Wallahu a’lam bis-sawab. Allahummagfir li khata’i. Innaka antal-gafurur-rahim.

 Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14341/otoritas-dan-kaidah-matematis-refleksi-atas-perayaan-idul-fitri-1432-h-tanggapan-atas-kritik-thomas-djamaluddin/