Para Pimpinan Muhammadiyah di
Cabang Kedunggalar saat ini rata-rata tidak begitu mengetahui riwayat
Persyarikatan ini di cabang yang dipimpinnya. Hal ini karena beberapa sebab, di
antaranya :
1.
Mereka bukan penduduk asli
di Kedunggalar
2.
Mereka menjadi Muhammadiyah
setelah mereka relative tua.
3.
Pimpinan terdahulu tidak
meninggalkan arsip yang berkaitan dengan kegiatan Muhammadiyah dari tahun ke
tahun.
4.
Para sesepuh Muhammadiyah
yang cukup lama jadi orang Kedunggalar sudah tidak ada lagi.
Oleh karena itu untuk mengetahui
kapan Muhammadiyah mulai ada di Kedunggalar cukup sulit. Namun menurut cerita
dari mulut ke kuping sedikit-sedikit masih bisa digambarkan mulai kapan
Muhammadiyah menyapa masyarakat Kedunggalar.
Menurut cerita yang pernah saya
terima, pada tahun 1925-an Mubaligh Muhammadiyah pernah datang dan menetap di
Kedunggalar. Pada waktu itu sikap masyarakat sangat anti-pati kepada
Persyarikatan yang berpusat di Yogyakarta ini. Sikap antipati ini terjadi
karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat sebelumnya. Umumnya
informasi yang sampai kepada masyarakat berasal dari orang-orang yang tidak
setuju dengan gagasan Sang Pencerah, sehingga mereka cenderung membuat
cerita-cerita khayal yang menggambarkan bahwa Muhammadiyah itu suatu faham baru
yang sesat, yang wajib dijauhi dan kalau perlu dimusuhi oleh orang Islam. Maka
dakwah Mubaligh itu kurang begitu berhasil dan kebetulan Mubaligh yang
berprofesi sebagai pegawai pemerintah itu tidak lama juga kena mutasi ke
Surabaya. Pun demikian, ada juga bekas-bekas hasil dakwah Sang Mubaligh, di
antaranya ada sebagian kaum santri yang merasa suka kepada Muhammadiyah dan
menyatakan diri sebagai “orang Muhammadiyah”.
Pada jaman Jepang dan di
awal-awal merdeka, walaupun Cabang belum secara resmi terbentuk namun kegiatan
Gerakan Kepanduan HW cukup ramai. Sehingga hampir seluruh Pemuda terpelajar di
Kedunggalar ikut menjadi Pandu HW (Hizbul Wathon). Yang termasuk Pimpinan HW
pada waktu itu di antaranya : Abdullah Bakri, Muhammad ‘Aliman, Muh.Syamsu
Harianto dll yang kelak menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kedunggalar.
Selanjutnya berkenaan dengan
status Muhammadiyah yang menjadi anggota istimewa Partai Politik Islam Masyumi,
kegiatan dakwah Muhammadiyah di Kedunggalar tidak begitu terasa, karena hampir
keseluruhan waktu dan tenaga digunakan untuk kepentingan Masyumi yang sedang
mengalami tekanan berat dari lawan-lawan politik yang secular.
Pada tahun 1959 Bung Karno secara
sepihak mengeluarkan dekrit, yang terkenan dengan sebutan Dekrit Presiden. Di
antara isi dekritnya ialah membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955. Partai
Masyumi yang diikuti oleh Muhammadiyah menjadi lawan politik yang berat bagi
Sukarno yang Nasionalis Sekular ini. Maka berbagai cara ditempuh oleh Sukarno
untuk membubarkan Masyumi. Berbagai macam fitnah disebar, banyak pimpinan
Masyumi (yang juga pimpinan Muhammadiyah) ditangkap dan dimasukkan ke penjara
secara tidak adil dan penuh kesewenang-wenangan, seperti Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Dr.M.Natsir, Prof. Hamka ditahan dengan tuduhan fitnah yang
dibuat-buat.
Karena kondisi di tingkat atas
seperti itu, maka gerak Muhammadiyah di lapisan terbawahpun selalu diawasi dan
dimata-matai oleh Penguasa dan kekuatan anti Islam. Sehingga gerakan
Muhammadiyah di Kedunggalarpun tidak bisa berjalan lancar. Namun demikian,
tokoh-tokoh Masyumi di Kedunggalar tidak pernah menyerah begitu saja. Mereka
terus berjuang sekuat tenaga dengan bendera Muhammadiyah lagi (setelah Masyumi
membekukan diri). Maka pada tahun 1962 Pimpinan Muhammadiyah Cabang Kedunggalar
mulai kelihatan keberadaannya. Tokohnya antara lain : Abdullah Bakri, M.Aliman,
Abdul Mu’idz, Sutomo Rahardjo, Syamsu Hariyanto, Abdullah Sayid, M.Sholeh, dll.
Gerakan Muhammadiyah di Kedunggalar
saat itupun masih berkutat urusan
politik, yakni pertarungan ideology antara nasionalis, Islam dan Komunis.
Pada tahun 1966 sampai dengan
1969 gerakan Muhammadiyah banyak berupa ikut berpartisipasi dalam penumpasan
gerakan Komunisme.
Pada tahun 1970-an, tokoh-tokoh
Muhammadiyah di Kedunggalar dilanda kurang kompak. Penyebabnya juga urusan
politik, yaitu sebagian bergabung dalam Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)
sebagian lagi ikut bergabung dalam wadah politik Golongan Karya. Akhirnya
Muhammadiyah di Kedunggalar menjadi seolah-olah tidak ada lagi.
Pada tahun 1985, Soeharto
penguasa Orde Baru memaksakan kehendaknya agar semua Ormas berasaskan Pancasila
(asas tunggal) semua Ormas mulai tingkat tertinggi (pusat) sampai terendah
wajib melaporkan keberadaannya kepada pemerintah. Maka Muhammadiyah Cabang
Kedunggalarpun mulai dibangunkan kembali. Tercatat sebagai Pimpinan
Muhammadiyah Cabang pada saat itu di antaranya : Abdullah Bakri (Ketua),
Muh.Aliman (Wk.Ketua), Rustamadji (Sekretaris), M. Sholeh (bendahara), Abdul Mu’idz
(Wk Bendahara).
Alhamdulillah, mulai saat itu
Muhammadiyah di cabang Kedunggalar meski lambat terus bergerak. Ortom
Kepemudaan mulai dibentuk dan diadakan (Pemuda Muhammadiyah) Pimpinan dan
tokoh-tokohnya di antaranya : Drs, Sunarwan, Drs. Supriyadi, Drs, Mahfudzi,
Istijono Prawiro Hadi K, Ni’am Afrosin, Gipong Sumarsono, Totok Sri Haryanto,
Suharno dll.
Dan akhirnya Muhammadiyah di
kedunggalar terus berjalan sampai sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar