ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

YAA ALLAH DENGAN PERTOLONGANMU KAMI MEMOHON
BERILAH KAMI KEKUATAN LAHIR DAN BATHIN UNTUK MAMPU MERAIH RIDLAMU..

Selasa, 31 Mei 2011

Apa itu Wahabi ?

Oleh Ustadz DR. Ali Musri SP

Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i, Jember, Jawa Timur

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛

Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.

Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.

Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:

Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ringkasan dan penutup.

Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi

Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.

Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.

Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.

Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.

Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar Hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.

Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)

Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.

Dalam keadaan seperti di atas, Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)

Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)

Tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai petualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi, beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.

Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.

Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjutnya beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau adalah keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah.

Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.

Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut

Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar, mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong, supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantara fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya, setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.

Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

Bila kita membaca sejarah para nabi, tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula para ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.

Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim:

“Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:

Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut,

1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum,

2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab,

3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)

Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi

Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).

Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut:

“Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:

Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak berkhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahannam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka, saya serahkan kepada Allah.
Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.

Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata:

“Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya:

“Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)

Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata:

“Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan Turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)

Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”:

“Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)

Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.

Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.

Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”

Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Ringkasan dan Penutup

Ringkasan:

Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dalam menegakkan dakwah.
Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.

Penutup

Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك.

Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia

Diambil dari: Artikel www.muslim.or.id, 22-04-2008

http://muslim.or.id/manhaj/apa-itu-wahabi-1.html

http://muslim.or.id/manhaj/apa-itu-wahabi-2.html

(nahimunkar.com)

Apabila ada pertanyaan, kritik, atau saran silakan hubungi di nomor 0411-9303899

MENGUNGKAP BAHAYA FANATIK MAZHAB (Oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafizhahullah)

Definisi Fanatik
Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok, organisasi, suku atau negara. (Lihat kembali Majalah Al-Furqon hal. 13 edisi 5 Th. 11) -majalah yang dikelola Ustadz Abu Ubaidah (editor)-

Adapun madzhab ialah pendapat seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu, yaitu pendapat yang digali dari Al-Qur’an dan hadits dengan kekuatan ijtihadnya.

Madzhab yang masyhur ada empat:  Madzhab Hanafi (Abu Hanifah rahimahullah), madzhab Maliki (imam Malik rahimahullah), madzhab Syafi’i (imam Syafi’i rahimahullah), madzhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)

Sekalipun sebenarnya ada beberapa madzhab lainnya seperti madzhab Dhahiriyyah, Zaidiyyah, Sufyaniyyah dan sebagainya. Semua madzhab dapat diambil pendapatnya jika benar dan dapat pula ditinggalkan jika salah, karena memang tidak ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat Syarh Lum’ah Al-I’tiqad hal. 166-167 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah).

Fenomena Fanatik Mazdhab

Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan, baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa klaim mereka selama ini  “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.

Sejarah menjadi saksi bahwa fanatik buta terhadap madzhab hingga detik ini telah menelan korban yang tak sedikit jumlahnya. Berikut saya akan turunkan beberapa ucapan para ahli fanatisme madzhab yang masing-masing mengkalim bahwa kebenaran pada pihaknya sendiri sedangkan kebatilan pada pihak madzhab lainnya.

- Dari mazdhab Hanafiyyah, Muhammad ‘Alauddin, seorang tokoh yang cukup populer dalam madzhab Hanafi pernah berkata:

فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ

La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir
Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah. (Ad-Durrul Mukhtar 1/48-49).

Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin hal. 95).

- Dalam madzhab Malikiyyah, mayoritas para penganutnya  mempunyai sebuah peribahasa lucu:

لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا

Seandainya bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur.

- Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata:

“Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”. (Lihat Mughitsul Al-Khalq hal. 15-16)

- Dalam  madzhab Hanabilah, seorang di antara mereka pernah mengungkapkan:

أَنَا حَنْبَلِيٌّ مَا حَيَيْتُ وَإِنْ أَمُتْ فَوَصِيَّتِيْ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَحَنْبَلُوْا

Saya seorang (bermazdhab) hanbali selama hidup dan matiku
Wasiat saya kepada manusia agar mereka bermadzhab Hanbali. (Lihat Irwa’ul Ghalil 1/22-23 karya Al-Albani)

Ucapan-ucapan serupa seringkali kita jumpai dari kalangan ahli fanatik madzhab, bahkan diantara mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung tinggi imamnya, memperjuangkan madzhabnya, berkoar agar manusia hanya mengikutinya, mencoreng habis madzhab selainnya serta berusaha sekuat tenaga menjatuhkan kedudukan lawannya.

Tragisnya, sebagian mereka mengangkat kedudukan imam madzhabnya pada derajat yang belum pernah dijangkau oleh seorang pun dari sahabat Nabi.

Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifah rahimahullah:

“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an. Cukuplah sebagai keutamaan beliau adalah tersohornya madzhab beliau. Tidak pernah dia mengeluarkan suatu pendapat melainkan ada dari imam kaum muslimin yang mengambilnya. Sejak zaman beliau hingga hari ini, Allah selalu menguatkan madzhabnya bagi para penganutnya hingga Isa bin Maryam kelak akan berhukum dengan madzhabnya…”.

(Lihat Ad-Durrul Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’ (1/158-167) oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).

Wajibkah Bermadzhab dengan salah satu empat madzhab?

Banyak kaum muslimin berkeyakinan, baik yang masih awam maupun kyainya bahwa seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab. Sungguh ini merupakan anggapan yang salah fatal dan kejahilan yang mendalam. (Lihat Halil Muslim Mulzam bi Ittib’ Madzhab Mu’ayyan hal. 5 oleh Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah).

Apa yang disindir oleh Syaikh Al-Ma’shumirahimahullah di atas bukan hanya omong kosong tetapi fakta dan nyata. Banyak para penulis dan penceramah memprogandakan wajibnya bermadzhab. Simaklah apa yang dikatakan Ahmad As-Shawi rahimahullah, salah seorang shufi bermadzhab Maliki dan beraqidah Asya’irah (wafat th. 1241 H) dalam Hasyiyah Al-Jalalain (3/10): “Tidak boleh taklid selain kepada empat madzhab walaupun sesuai dengan perkataan sahabat, hadits maupun ayat. Orang yang diluar empat madzhab adalah sesat dan menyesatkan, bahkan dapat menjebloskannya ke lubang kekufuran, sebab mengambil tekstual Al-Qur’an dan hadits termasuk sumber kekufuran !!!”.

Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah mengomentari ucapan ini: “Ucapan As-Shawi di atas merupakan ucapan yang paling kotor. Seandainya seseorang mencari ucapan yang lebih kotor darinya, mungkin dia tak menemukannya.  Hal itu mempengaruhi dirinya dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan akal dan fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah keselamatan”. (Ar-Radd Ala Rifa’i wal Buthi hal.47)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata dalam Minhaj Sunnah (3/412): “Tidak ada seorangpun dari kalangan ahli sunnah yang mengatakan: “kesepakatan imam empat adalah hujjah yang ma’shum”, “Kebenaran hanya pada imam empat saja” atau “Siapa yang  tidak mengikutinya berarti salah”. Bahkan, apabila ada seorang yang di luar penganut madzhab empat -seperti Sufyan Tsauri rahimahullah, Al-Auza’irahimahullah, Laits bin Sa’adrahimahullah dan ulama’ lainnya- suatu perkataan yang bertentangan dengan pendapat madzhab empat, maka harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan sunnah. Pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, itulah yang lebih kuat”.

Dalil-Dalil Tercelanya Fanatik

Dalil Pertama:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur: 63).

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Saya heran dengan suatu kaum yang telah mengenal sanad hadits dan keabsahannya kemudian mereka berpegang dengan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) padahal Allah berfirman (beliau membawakan ayat di atas) lalu berkata: Tahukah engkau apa itu fitnah? Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jikalau dia menolak sebagian sunnah Nabi, maka akan bercokol dalam hatinya suatu penyimpangan hingga dia hancur binasa”.

Semoga Allah merahmati Imam Ahmad. Kalau demikian kecaman keras beliau terhadap orang yang menentang sunnah Nabi dengan pendapat imam Sufyan Tsauri rahimahullah padahal beliau adalah salah satu ulama besar, lantas bagaimana kalau seandainya beliau melihat manusia zaman sekarang yang bukan hanya menolak sunnah dengan perkataan alim ulama, tetapi mereka menentang sunnah dengan pendapat para tokoh agama (kyai) yang juhala’ (bodoh), rasionalis, politikus bahkan para artis dan pelawak yang miskin ilmu. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu semua ini.

Dalil Kedua:

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).

Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah berkata dalam risalahnya “Halil Muslim Mulzam…” hal. 31:

“Ketahuilah bahwa ayat ini adalah halilintar keras bagi para para ahli taklid karena sikap membeonya mereka terhadap ucapan dan pendapat manusia dalam masalah agama, baik mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia! Taklid dalam masalah aqidah dan ibadah! Masalah halal dan haram! Karena semua masalah ini harus bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan diambil dari pendapat dan pemikiran seorang, lebih-lebih dari para tokoh penyesat agama”.

Dalil Ketiga:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat: 2).

Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqiin (1/60) berkomentar: “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara rasul saja dapat menyebabkan gugurnya amalan mereka, lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan dan mengedepankan pendapat, akal, perasaan, politik dan pengetahuan di atas ajaran rasul? Bukankah ini lebih layak untuk sebagai faktor penggugur amalan mereka?”

Dalil Keempat:

قَالَ النَّبِيُّ: “وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوْسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِيْ لاَتَّبَعَنِيْ”.

Rasulullah bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hadir di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku. (Hasan. riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya (441) dan Ahmad (3/471, 4/466) Lihat Al-Misykah (177) oleh Al-Albani).

Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang nabi mulia yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapatmu apabila kita meninggalakan sunnah Nabi dan mengikuti  para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa?. Pikirkanlah! (Lihat Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh Al-Albani).

Dalil Kelima:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: “يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكُْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟!”

Ibnu Abbas berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian?!” (Shahih. Riwayat Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145).

Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh rahimahullah berkata dalam kitabnya Taisir Aziz Al-Hamid hal. 483:

“Jikalau perkataan yang muncul dari Ibnu Abbas ini diperuntukkan pada orang yang menentang sunnah dengan pendapat Abu Bakar dan Umar yang telah diketahui bersama kedudukan mereka berdua, lantas bagaimana kiranya apa yang akan beliau katakan terhadap orang yang menetang sunnah nabi dengan dengan tokoh dan imam madzhab yang dianutnya? Lalu menjadikan pendapat orang tersebut sebagai tolok ukur Al-Qur’an dan sunnah, bila keduanya sesuai dengan pendapat tokohnya maka diterima dan bila bertentangan dengan pendapat tokohnya maka ditolak atau ditakwil. Kepada Allah kita memohon pertolongan”. (Lihat pula Al-Qaulul Mufid (2/152) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cet. Dar Ibnu Jauzi).

Dampak Negatif Fanatik

Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, akan kami paparkan beberapa dampak tersebut:

1. Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang rapuh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menandaskan:

“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami Al-Qur’an dan sunnah kecuali segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama’ yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong”. (Majmu’ Fatawa 22/254).

2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.

Bahkan seringkali mereka mementahkan dalil shahih dengan uslub yang kasar. Sebagai contoh, KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya “40 Masalah Agama” Juz 1 hal. 186 -cet. Kedua puluh sembilan- tatkala mengomentari hadits Abu Malik Al-Asyja’iy tentang bid’ahnya qunut shubuh terus-menerus sebagaimana dilakukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia: “Nampaknya Thariq ini tidak dapat dipercayai omongannya dan mungkin ini bukan perkataan Thariq, tetapi disebut-sebut oleh orang lain dan dikatakan ucapan Tahriq!!!”.


3. Menyulut api perselisihan dan permusuhan

Persatuan dan kedamaian terasa mustahil terwujudkan bila penyakit fanatik madzhab masih bercokol di dada kaum muslimin. Bahkan api kebencian, percekcokan dan perpecahan bertambah menyala-nyala dalam kehidupan. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Mizanul I’tidal (4/51) bahwa Muhammad bin Musa Al-Balasaghuniy rahimahullah pernah berkata: “Seandainya aku menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari penganut madzhab Syafi’i”.

Dalam muqaddimah buku “Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan” oleh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah diceritakan begini:

“Rombongan Jepang pernah berkeinginan masuk agama Islam. Untuk melaporkan keperluannya, mereka pergi ke sebuah lembaga Islam di kota Tokyo. Ternyata para pengurusnya dari berbagai madzhab. Orang India mengatakan: “Rombongan ini wajib mengikuti madzhab Abu Hanifah karena beliau adalah pelita umat sedangkan orang Indonesia “Jawa” menyahut: “Madzhab Syafi’i lebih utama untuk dianut”. Mendengar keributan para pengurus tersebut, rombongan Jepang terheran-heran dan merasa kebingungan  sehingga akhirnya mereka tidak jadi masuk Islam”.

Nyarisnya, sumber permusuhan itu biasanya berinduk pada masalah fiqih belaka. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ (17/477) bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat di masjid Abdullah selama enam puluh tahun lamanya, beliau bermadzhab Syafi’i dan melakukan qunut (shubuh). Setelah itu, imam shalat diambil alih oleh seorang yang bermadzhab Maliki, beliau tidak qunut (shubuh). Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat, akhirnya mereka bubar meninggalkannya seraya berkomentar: “Shalatnya gak pecus!!!”

4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya

Imam Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan:

“Termasuk tipu daya Iblis terhadap para fuqaha’ yaitu tatkala jelas kebenaran berada di tangan lawannya, dia akan tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima kebenaran dari lawannya, bahkan dia akan berusaha menggulingkan lawan padahal sudah jelas dia yang benar. Hal seperti ini sangat nista sekali, karena fungsi dialog adalah mencari kebenaran sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i: “Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menolak kebenaran kecuali dia hina di hadapanku dan tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menerima kebenaran kecuali dia berwibawa dalam pandanganku. Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang kecuali saya akan mengikuti kebenaran, bila kebenaran memang bersamanya saya akan mengikutinya dan bila kebenaran bersamaku dia mengikutiku” (Talbis Iblis hal.120).

5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.

Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Ahmad As-Shawi rahimahullah berkata dalam Hasyiyah Jalalain (3/307-308) ketika menafsirkan surat Fathir:

أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَءَاهُ حَسَنًا

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik.” (QS. Fathir: 8).

Katanya:

“Ayat ini turun kepada kelompok Khawarij yang merubah makna Al-Qur’an hadits dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin sebagaimana dapat kita saksikan sekarang pada cikal bakalnya yang berada di Hijaz yaitu Wahhabiyyah! Mereka menyangka bahwa kelompoknya di atas hujjah padahal tidak sama sekali. Ketahuilah mereka adalah manusia pendusta. Syetan telah menjangkiti mereka sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah. Merekalah bala tentara Syetan. Ketahuilah bahwa bala tentara Syetan pasti merugi. Kita memohon kepada Allah agar meluluhlantahkan kekuatan mereka”.

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana fanatik madzhab membuat buta para pemeluknya sehingga mengeluarkan kata yang tak terkontrol oleh akal warasnya. Saya di sini bukan untuk membantah kedustaan ini sebab sebagaimana kata seorang penyair:

ئِمَّةُ حَقٍّ كَالشُّمُوْشِ اشْتِهَارُهُمْ                فَمَاانْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمَى

Para Imam Kebenaran, Popularitas mereka seperti matahari


Tidak ada yang mencela mereka kecuali orang yang buta.


6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.

Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:

Atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh imam Ahmad (3/472), Ibnu Majah (1241), Tirmidzi (2/252) dan beliau menshahihkannya:

عَنْ ماَلِكٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ : قُلْتُ لأَبِيْ: يَا أَبَتِ! إِنَّكَ صَلَّيْتَ وَرَاءَ النَّبِيِّ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَا هُنَا بِاالْكُوْفَةِ, أَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِيْ الْفَجْرِ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ

Dari Malik Asyja’iy berkata: “Saya pernah bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku! Engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah sini selama lima tahun lamanya, apakah mereka melakukan qunut shubuh? Jawab beliau: ‘Wahai anakku, Itu merupakan perkara baru”!!

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (3/484) karya imam Nawawi, cetakan yang ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy, seorang tokoh mazdhab Syafi’i di Mesir sekarang tertulis begini:

أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ

Wahai anakku, ceritakanlah!!

Hal ini tidak lain kecuali karena dampak fanatik madzhab yang mengakar kuat pada dirinya. Dalam kitabnya An-Nafilah fil Ahaditsil Bathilah (1/47), Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah, salah seorang ulama’ ahli hadits Mesir murid Syaikh Al-Albani menceritakan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy rahimahullah mengatakan: “Shalatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh secara sengaja hukumnya batal tidak sah!”

Sungguh alangkah indahnya apa yang pernah saya baca dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (3/388) karya Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah, kata beliau:

“Dalam biografi Abul Hasan Al-Kurjiy As-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 532 H) diceritakan bahwa beliau tidak melakukan qunut shubuh seraya berkata: “Tidak ada hadits shahih tentang hal itu”. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengomentari:

“Ini menunjukkan akan kedalaman ilmu dan inshafnya (keadilan), semoga Allah merahmatinya. Beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah agar termasuk mereka”.

7. Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.

Fanatik madzhab mempunyai andil yang cukup besar dalam pemalsuan hadits demi membela madzhab. Contohnya, hadits palsu bikinan orang-orang fanatik madzhab Abu Hanifah rahimahullah sebagai berikut:

سَيَأْتِيْ مِنْ بَعْدِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ النُّعْمَانَ بْنَ ثَابِتٍ وَيُكْنَى أَبَا حَنِيْفَةَ لَيُحْيِيَنَّ دِيْنَ اللهِ وَسُنَّتِيْ عَلَى يَدَيْهِ

Akan datang setelahku seorang yang bernama Nu’man bin Tsabit dan kunyah-nya Abu Hanifah, sungguh dia akan menghidupkan agama Allah dan sunnahku. (Lihat Tanzih Syari’ah 2/30 karya Ibnu ‘Arraq dan Tarikh Baghdad 2/289 karya Al-Khatib Al-Bahgdadi).

Lebih ngeri lagi pernah dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi rahimahullah: “Bagaimana pendapatmu tentang Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab: “Menceritakanku Ahmad bin Abdillah bin Mi’dan rahimahullah dari Anas secara marfu’:

يَكُوْنًُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ أَضَّّرَ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبَا حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ

“Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (nama imam Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku.” (Lihat Lisanul Mizan (5/7-8) karya Ibnu Hajar dan Tadrib Rawi (1/277) karya As-Suyuthi).

Hadits ini disamping maudhu’ (palsu), juga bertentangan dengan ketegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad sebagaimana dalam surat Al-Ahzab: 46.

8. Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.

Para fanatisme madzhab akan menyerukan kepada kaumnya tentang kewajiban taklid yaitu mengambil pendapat seorang tanpa mengetahui dalilnya. Bahkan, untuk mencapai tujuan ini, mereka membuat hadits dusta yaitu:

مَنْ قَلَّدَ عَالِمًا لَقِيَ اللهَ سَالِمًا

Barangsiapa yang taklid kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah pernah ditanya tentang hadits ini dalam Majalah Al-Manar (34/759) lalu beliau menjawab : “Itu bukan hadits”. Hal ini disetujui oleh Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Silislah Ahadits Ad-Dha’ifah (551).
.
Berikut ucapan para propagandis taklid beserta sedikit sanggahannya:

a. Al-Baijury dalam “Jauharah Tauhidnya” pernah mengungkapkan:

فَوَاجِبٌ تَقْلِيْدُ حَبْرٍ مِنْهُمْ                     كَذَا حَكَى الْقَوْمُ بِلَفْظٍ يُفْهَمُ

Sewajibnya untuk taklid kepada seorang alim diantara mereka
Demikianlah diceritakan oleh suatu kaum dengan lafadz yang mudah difahami.

Syaikh Muhammad Ahmad Al-Adawi rahimahullah berkata dalam Al-Jadid ‘ala Jauharah Tauhid hal. 111 mengomentari bait di atas: “Kami belum mendapati pendahulu bagi penulis yang mewajibkan taklid”.

b. KH. Ahmad Masduqi, wakil Ro’is PWNU Jatim berkata dalam bukunya “Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 60 cet. Pelita Dunia Surabaya: “Apabila sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian besar umat Islam di seluruh dunia yang termasuk dalam golongan Ahlus sunnah wal Jam’ah (ala mereka -pent-) membanarkan adanya kewajiban taklid bagi orang yang tidak mencukupi syarat-syarat untuk berijtihad…”.

Ini adalah ucapan batil dari akarnya dan kebohongan nyata!. Tidak pernah ada kewajiban seperti ini dari Allah, Rasulullah hatta imam madzhab sekalipun, karena pendapat mereka itu kadang benar dan kadang juga salah. Seringkali para imam imam madzhab berpendapat suatu pendapat lalu setelah jelas baginya dalil, dia ruju’ (kembali) kepada dalil. Para imam sendiri telah mengucapkan perkataan-perkataan berharga tentang haramnya taklid kepada mereka. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:

كُلُّ مَا قُلْتُ وَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ

Setiap ucapan saya yang bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits Nabi lebih utama dan janganlah kalian taklid kepadaku. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu (1/66) oleh Ibnu Abi Hatim).

Tentang haramnya taklid dan bahayanya, para ulama sudah membahas secara tuntas seperti imam:

  1. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam I’lam Muwaqqi’in,
  2. Syaikh Shalih Al-Fulani dalam Iqhadhul Himami Ulil Abshar,
  3. Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi Al-Hujandi dalam Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’i Madzhabin Mu’ayyanin,
  4. Syaikh Muhammad ‘Ied Al-Abbasi dalam Bid’ah Ta’ashub Madzhabi,
  5. Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam muqaddimah  Sifat Shalat Nabi dan masih banyak lainnya lagi.

10. Menutup pintu ijtihad.

KH. Ahmad Masduqi berkata dalam bukunya yang berjudul Konsep Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 60:

“Atau dengan lain perkataan, belum pernah ada orang yang mampu memasuki “Pintu Ijthad Yang Mutlaq” semenjak dahulu sampai sekarang, meskipun pintu tersebut tidak pernah ditutup. Dan apabila di sana-sini banyak kita jumpai orang-orang yang berlagak pilon mengaku sebagai mujtahid, artinya menggali sendiri dari Al-Qur’an dan Al-hadits dalam menjalankan syari’at Islam dan tidak mau mengikuti pendapat imam madzhab, maka sebenarnya mereka tidak lebih dari orang-orang yang membebek kepada guru-guru mereka yang masih belum memahami benar-benar arti ijtihad, apalagi memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad”.

Ucapan di atas  salah fatal, tipu daya tak samar, kesesatan nyata dan ajaran baru yang diusung oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga berdampak negatif yaitu sikap kolot terhadap pendapat madzhab.

http://abiubaidah.com/fanatik-kepada-ulama.html/

Semoga bermanfaat…

sumber : 
http://jihadsabili.wordpress.com/2011/05/31/mengungkap-bahaya-fanatik-mazhab-oleh-al-ustadz-abu-ubaidah-yusuf-as-sidawi-hafizhahullah/

Senin, 23 Mei 2011

Sejarah Utang Negara Peng-utang


    Eduuuuuuun pisaaaaan ………… Tim Indonesia Bangkit (TIB) mencatat utang Indonesia dalam 5 tahun terakhir justru mengalami peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. Utang sebesar ini merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah. Demikian disampaikan Ketua Tim Indonesia Bangkit, Rizal Ramli dalam Jumpa Pers di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, Selasa (1/4/2009). Ia menjelaskan, dalam lima tahun terakhir jumlah utang Indonesia meningkat sebesar 31 persen dari Rp 1.275 triliun pada Desember 2003 menjadi Rp 1.667 triliun pada bulan Januari 2009 atau naik kurang lebih sebesar Rp 392 triliun. “Itu menempatkan Indonesia pada rekor utang terbesar sepanjang sejarah,” tegasnya. Sementara itu, Rizal juga mengatakan jumlah utang per kapita Indonesia pun meningkat. Jika pada 2004 utang per kapita Indonesia sekitar Rp 5,8 jutan per kepala, maka pada Februari 2009 melonjak jadi Rp 7,7 juta per kepala. “Kan aneh, data TIB menunjukkan utang naik, kok berani-beraninya pemerintah bikin iklan utang turun,” katanya.(detik.com)
Sejarah Singkat Utang Pemerintahan Indonesia
Eksploitasi sumber-sumber agraria perusahaan-perusahaan transnasional Amerika di Indonesia, telah berlangsung semenjak periode sejarah penjajahan hingga sekarang. Untuk kepentingan itulah, Amerika Serikat senantiasa melakukan intervensi politik dan militer terhadap perkembangan situasi di Indonesia semenjak masa Perang Revolusi Kemerdekaan Nasional Indonesia di tahun 1945 hingga sekarang.
Dengan difasilitasi pemerintahan koloniali Hindia-Belanda, terutama setelah diberlakukannya Agrarische Wet pada tanggal 9 April 1870, perusahaan-perusahaan transnasional Amerika seperti Caltex (California Texas Oil Corporation), pada tahun 1920-an telah meneguk laba di tengah kemelaratan rakyat Indonesia di bawah penindasan kolonialisme Belanda.
Untuk itulah paska proklamasi kemerdekaan Indonesia. Amerika merestui bahkan – kendaraan dan seragam serdadu Belanda bertuliskan US Marines – invasi militer Belanda. Namun kemudian untuk menghindarkan wilayah-wilayah eksplorasi perusahaan-perusahaan transnasional Amerika terkena taktik bumi hangus dari kekuatan-kekuatan pemuda revolusioner bersenjata, Amerika memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda. Dan lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1949, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Cohran memaksa Indonesia menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi revolusi pemuda Indonesia. Indonesia juga harus bersetuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, tadinya Indonesia dijanjikan akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali. Namun, dalam dalam konteks kedaulatan nasional, konsensi paling penting yang dipaksakan Cohran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat) yang secara geografis merupakan bagian Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Indonesia karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun. (kau.or.id)
Utang Pemerintah Orde Lama
Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di­hapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pe­merintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.
Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta ter­hadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun di­hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada ter­hadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter­hadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan me­ngemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di­nyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan se­bagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang ber­sahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno. (malikmakassar.wordpress.com)
IMF Bercokol di Indonesia
Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang menandakan dimulainya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru memang dekat dengan kepentingan Amerika, namun meskipun demikian pemerintah Amerika tidak ingin memberikan utang secara langsung lewat mekanisme bilateral, mereka “menitipkan” kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dana bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan cepat melaksanakan kebijakan seperti yang diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, menimbulkan reaksi negara-negara barat. Mereka segera memberikan hibah sebesar US$174 million dengan tujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, disusul dengan restrukturisasi utang karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Tanpa rescheduling utang ini maka tidak dimungkinkan negara-negara barat memberi utang utang baru, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya rescheduling merupakan cara agar negara-negara barat bisa mengucurkan utang baru ke Indonesia. Pada Desember 1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club yang menyepakati moratorium utang sampai tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok utang jangka panjang yang disepakati sebelum tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika inisiatif moratorium ini tidak akan terjadi.
Namun imbas dari moratorium yang disepakati dalam paris club hanya bersifat sementara karena setelah tahun 1976 pembayaran utang berlanjut kembali. Mulai saat itu para kreditor diuntungkan oleh kesepakatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, Semua Utang yang ditandatangani sebelum tahun 1966 (pada pemerintahan Sukarno) harus dibayar dalam 30 kali cicilan dalam kurun waktu antara tahun 1970 sampai 1999. Tanggungan pembayaran ini diikuti dengan devaluasi dan perubahan nilai tukar, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan nilai tukar mengambang paling bebas di dunia.
Krisis ekonomi yang melanda Asia tenggara pada tahun 1997 menyebabkan pemerintah mengundang IMF untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang sedang dalam krisis. Kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia terjadi pada tanggal 31 Oktober 2007 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) pertama yang berisikan perjanjian 3 tahun dan kucuran utang sebesar US$ 7,3 milyar. Namun kehadiran IMF justru mengakibatkan bertambah parahnya ekonomi Indonesia, tidak lebih dari satu tahun terjadi pelarian modal (capital flight) keluar negeri besar-besaran yang menyebabkan pengangguran, diperparah lagi dengan penurunan nilai tukar rupiah secara drastis. Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu resep kebijakan IMF untuk menutup 16 bank membuat masyarakat panik dan menarik uangnya di bank-bank nasional dan sebagian di bank asing, untuk mengatasi goncangan ini IMF kembali membuat rekomendasi kebijakan yang mengharuskan pemerintah mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk memperbaiki kecukupan modal pada bank-bank yang bermasalah tersebut melalui obligasi rekap.
Dalam perjanjiam IMF dengan pemerintah menyatakan bahwa setelah pemerintah menyalurkan obligasi rekap kepada bank-bank yang kolaps, maka bank tersebut harus segera dijual kepada pihak swasta. Dengan demikian pemerintah juga terbebani kewajiban untuk membayar bunga dari obligasi tersebut. Sedangkan IMF memberi batasan waktu penjualan bank-bank tersebut yang mengakibatkan murahnya harga bank-bank tersebut, dan para pembeli domestik maupun asing masih menikmati bunga dari obligasi rekap yang lebih besar jumlahnya dari pada harga bank itu sendiri. Obligasi pemerintah yang melekat pada bank-bank bermasalah seluruhnya sebesar Rp. 430 trilyun dengan kewajiban membayar bunga Rp. 600 trilyun yang dibebankan kepada pemerintah.
Hubungan mesra IMF dan Indonesia terus berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I sampai dengan IV sejak tahun 1997 sampai tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa, tepatnya pada agustus 2003 pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM). Pilihan Pemerintah ini menimbulkan konsekwensi yang tidak jauh beda dengan pada saat melainkan program kerjasama. Karena IMF masih dapat terus mendikte kebijakan ekonomi Indonesia Karena pemerintah masih harus mengkonsultasikan setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil. Masa pemandoran IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut inpres “white paper” .Inpres tersebut adalah produk kebijakan negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia. (liberationgirl)
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.(onlinebuku.com)
Rezim Utang Bakal Berlanjut
Utang pemerintah sudah mencapai level tertinggi, yakni 149,67 miliar dollar AS per Desember 2008. Meski begitu, tipe kebijakan pengelolaan utang dari tiga pasangan calon presiden (capres) dan cawapres belum tegas menunjukkan keberpihakan untuk lepas dari cengkeraman utang.
Kemandirin ekonomi, salah satunya ditandai dengan bebas dari utang asing, diperkirakan sulit terwujud pada masa pemerintahan baru, siapa pun pemenang pilpres nanti.
Tiga kandidat yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli nanti ialah Susilo Bambang Yudhoyono–Boediono, Jusuf Kalla–Wiranto, dan Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto.
Pengamat pasar modal sekaligus Presiden Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI) Yanuar Rizki menilai karakter kebijakan ekonomi Boediono sebagai cawapres pendamping Yudhoyono dikenal konservatif. Boediono konsisten dalam mengelola utang untuk membiayai kebijakan fiskal………(kau.or.id)
Mega-Pro Janji Kurangi Beban Utang Luar Negeri
Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), berjanji tidak akan menambah beban negara untuk utang ke luar negeri, jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden periode 2009-2014. Demikian dikatakan Megawati dalam dialog publik “Ekonomi Kerakyatan” yang juga dihadiri Prabowo Subianto di gedung Graha Saba Solo, Jumat (29/5).
“Kita harus bisa hidup mandiri dan jangan sampai menambah utang lagi ke luar negeri. Sebenarnya itu bisa dilakukan, karena Indonesia mempunyai sumber daya alam yang lebih dan apabila dikelola dengan baik serta benar, itu bisa menjadi kekuatan ekonomi tersendiri,” kata Megawati.
Sedangkan Prabowo mengatakan, program yang ditawarkan kepada rakyat telah jelas yaitu lebih menekankan kepada ekonomi kerakyatan. “Sistem perekonomian akan lebih menekankan kepada sistem ekonomi kerakyatan dan bukan saling menjegal, saling mencaplok, tetapi berjalan bersama-sama secara gotong royong.” (newspaper.pikiran-rakyat.com)

Sejarah Muhammadiyah



Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
muhammadiyahKata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
  1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
  2. dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal” yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
  1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
  2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
  3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
  4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
  5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat
(Junus Salam, 1968: 33).
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.
Sumber :http://www.suara-muhammadiyah.or.id