Sejarah Singkat Utang Pemerintahan IndonesiaEduuuuuuun pisaaaaan ………… Tim Indonesia Bangkit (TIB) mencatat utang Indonesia dalam 5 tahun terakhir justru mengalami peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. Utang sebesar ini merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah. Demikian disampaikan Ketua Tim Indonesia Bangkit, Rizal Ramli dalam Jumpa Pers di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, Selasa (1/4/2009). Ia menjelaskan, dalam lima tahun terakhir jumlah utang Indonesia meningkat sebesar 31 persen dari Rp 1.275 triliun pada Desember 2003 menjadi Rp 1.667 triliun pada bulan Januari 2009 atau naik kurang lebih sebesar Rp 392 triliun. “Itu menempatkan Indonesia pada rekor utang terbesar sepanjang sejarah,” tegasnya. Sementara itu, Rizal juga mengatakan jumlah utang per kapita Indonesia pun meningkat. Jika pada 2004 utang per kapita Indonesia sekitar Rp 5,8 jutan per kepala, maka pada Februari 2009 melonjak jadi Rp 7,7 juta per kepala. “Kan aneh, data TIB menunjukkan utang naik, kok berani-beraninya pemerintah bikin iklan utang turun,” katanya.(detik.com)
Eksploitasi sumber-sumber agraria perusahaan-perusahaan transnasional Amerika di Indonesia, telah berlangsung semenjak periode sejarah penjajahan hingga sekarang. Untuk kepentingan itulah, Amerika Serikat senantiasa melakukan intervensi politik dan militer terhadap perkembangan situasi di Indonesia semenjak masa Perang Revolusi Kemerdekaan Nasional Indonesia di tahun 1945 hingga sekarang.
Dengan difasilitasi pemerintahan koloniali Hindia-Belanda, terutama setelah diberlakukannya Agrarische Wet pada tanggal 9 April 1870, perusahaan-perusahaan transnasional Amerika seperti Caltex (California Texas Oil Corporation), pada tahun 1920-an telah meneguk laba di tengah kemelaratan rakyat Indonesia di bawah penindasan kolonialisme Belanda.
Untuk itulah paska proklamasi kemerdekaan Indonesia. Amerika merestui bahkan – kendaraan dan seragam serdadu Belanda bertuliskan US Marines – invasi militer Belanda. Namun kemudian untuk menghindarkan wilayah-wilayah eksplorasi perusahaan-perusahaan transnasional Amerika terkena taktik bumi hangus dari kekuatan-kekuatan pemuda revolusioner bersenjata, Amerika memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda. Dan lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1949, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Cohran memaksa Indonesia menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi revolusi pemuda Indonesia. Indonesia juga harus bersetuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, tadinya Indonesia dijanjikan akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali. Namun, dalam dalam konteks kedaulatan nasional, konsensi paling penting yang dipaksakan Cohran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat) yang secara geografis merupakan bagian Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Indonesia karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun. (kau.or.id)
Utang Pemerintah Orde Lama
Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan dihapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pemerintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.
Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun dihentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga terhadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan mengemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia dinyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno. (malikmakassar.wordpress.com)
IMF Bercokol di Indonesia
Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang menandakan dimulainya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru memang dekat dengan kepentingan Amerika, namun meskipun demikian pemerintah Amerika tidak ingin memberikan utang secara langsung lewat mekanisme bilateral, mereka “menitipkan” kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dana bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan cepat melaksanakan kebijakan seperti yang diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, menimbulkan reaksi negara-negara barat. Mereka segera memberikan hibah sebesar US$174 million dengan tujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, disusul dengan restrukturisasi utang karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Tanpa rescheduling utang ini maka tidak dimungkinkan negara-negara barat memberi utang utang baru, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya rescheduling merupakan cara agar negara-negara barat bisa mengucurkan utang baru ke Indonesia. Pada Desember 1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club yang menyepakati moratorium utang sampai tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok utang jangka panjang yang disepakati sebelum tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika inisiatif moratorium ini tidak akan terjadi.
Namun imbas dari moratorium yang disepakati dalam paris club hanya bersifat sementara karena setelah tahun 1976 pembayaran utang berlanjut kembali. Mulai saat itu para kreditor diuntungkan oleh kesepakatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, Semua Utang yang ditandatangani sebelum tahun 1966 (pada pemerintahan Sukarno) harus dibayar dalam 30 kali cicilan dalam kurun waktu antara tahun 1970 sampai 1999. Tanggungan pembayaran ini diikuti dengan devaluasi dan perubahan nilai tukar, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan nilai tukar mengambang paling bebas di dunia.
Krisis ekonomi yang melanda Asia tenggara pada tahun 1997 menyebabkan pemerintah mengundang IMF untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang sedang dalam krisis. Kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia terjadi pada tanggal 31 Oktober 2007 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) pertama yang berisikan perjanjian 3 tahun dan kucuran utang sebesar US$ 7,3 milyar. Namun kehadiran IMF justru mengakibatkan bertambah parahnya ekonomi Indonesia, tidak lebih dari satu tahun terjadi pelarian modal (capital flight) keluar negeri besar-besaran yang menyebabkan pengangguran, diperparah lagi dengan penurunan nilai tukar rupiah secara drastis. Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu resep kebijakan IMF untuk menutup 16 bank membuat masyarakat panik dan menarik uangnya di bank-bank nasional dan sebagian di bank asing, untuk mengatasi goncangan ini IMF kembali membuat rekomendasi kebijakan yang mengharuskan pemerintah mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk memperbaiki kecukupan modal pada bank-bank yang bermasalah tersebut melalui obligasi rekap.
Dalam perjanjiam IMF dengan pemerintah menyatakan bahwa setelah pemerintah menyalurkan obligasi rekap kepada bank-bank yang kolaps, maka bank tersebut harus segera dijual kepada pihak swasta. Dengan demikian pemerintah juga terbebani kewajiban untuk membayar bunga dari obligasi tersebut. Sedangkan IMF memberi batasan waktu penjualan bank-bank tersebut yang mengakibatkan murahnya harga bank-bank tersebut, dan para pembeli domestik maupun asing masih menikmati bunga dari obligasi rekap yang lebih besar jumlahnya dari pada harga bank itu sendiri. Obligasi pemerintah yang melekat pada bank-bank bermasalah seluruhnya sebesar Rp. 430 trilyun dengan kewajiban membayar bunga Rp. 600 trilyun yang dibebankan kepada pemerintah.
Hubungan mesra IMF dan Indonesia terus berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I sampai dengan IV sejak tahun 1997 sampai tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa, tepatnya pada agustus 2003 pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM). Pilihan Pemerintah ini menimbulkan konsekwensi yang tidak jauh beda dengan pada saat melainkan program kerjasama. Karena IMF masih dapat terus mendikte kebijakan ekonomi Indonesia Karena pemerintah masih harus mengkonsultasikan setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil. Masa pemandoran IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut inpres “white paper” .Inpres tersebut adalah produk kebijakan negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia. (liberationgirl)
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.(onlinebuku.com)
Rezim Utang Bakal Berlanjut
Utang pemerintah sudah mencapai level tertinggi, yakni 149,67 miliar dollar AS per Desember 2008. Meski begitu, tipe kebijakan pengelolaan utang dari tiga pasangan calon presiden (capres) dan cawapres belum tegas menunjukkan keberpihakan untuk lepas dari cengkeraman utang.
Kemandirin ekonomi, salah satunya ditandai dengan bebas dari utang asing, diperkirakan sulit terwujud pada masa pemerintahan baru, siapa pun pemenang pilpres nanti.
Tiga kandidat yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli nanti ialah Susilo Bambang Yudhoyono–Boediono, Jusuf Kalla–Wiranto, dan Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto.
Pengamat pasar modal sekaligus Presiden Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI) Yanuar Rizki menilai karakter kebijakan ekonomi Boediono sebagai cawapres pendamping Yudhoyono dikenal konservatif. Boediono konsisten dalam mengelola utang untuk membiayai kebijakan fiskal………(kau.or.id)
Mega-Pro Janji Kurangi Beban Utang Luar Negeri
Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), berjanji tidak akan menambah beban negara untuk utang ke luar negeri, jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden periode 2009-2014. Demikian dikatakan Megawati dalam dialog publik “Ekonomi Kerakyatan” yang juga dihadiri Prabowo Subianto di gedung Graha Saba Solo, Jumat (29/5).
“Kita harus bisa hidup mandiri dan jangan sampai menambah utang lagi ke luar negeri. Sebenarnya itu bisa dilakukan, karena Indonesia mempunyai sumber daya alam yang lebih dan apabila dikelola dengan baik serta benar, itu bisa menjadi kekuatan ekonomi tersendiri,” kata Megawati.
Sedangkan Prabowo mengatakan, program yang ditawarkan kepada rakyat telah jelas yaitu lebih menekankan kepada ekonomi kerakyatan. “Sistem perekonomian akan lebih menekankan kepada sistem ekonomi kerakyatan dan bukan saling menjegal, saling mencaplok, tetapi berjalan bersama-sama secara gotong royong.” (newspaper.pikiran-rakyat.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar