A. Tinjauan terhadap Imam Abu Hanifah (Imam dari Mazhab Hanafi)
“Apabila hadist itu shahih, maka hadist itu adalah mazhabku.” (Imam Abu Hanifah) *Dikutip oleh Ibnu Abidin dalam kitab “Al-Hasyiah” dan “Rasmu Al-Mufti”.
“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Imam Abu Hanifah) *Disebutkan ileh Ibnu Abdil Barr dalam “Al-Intiqa’u fi Fadhaili Ats-Tsalatsah Al-Aimmahi Al-Fuqaha’i”, Ibnu Al-Qayyim dalam “I’lamu Al-Muwaqi’in”, Ibnu Abidin dalam “Hasyiyah Al-Bahri Ar-Ra’iq” dan “Rasmu Al-Mufti”.
“Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalil peganganku, lantas memberi fatwa dengan perkataanku.” (Imam Abu Hanifah) *Asy-Sya’rani dalam “Al-Mizan”.
“Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya esok hari.” (Imam Abu Hanifah) *Dikutip oleh Ibnu Ma’in dalam “At-Tarikh”.
“Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rosulullah, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Imam Abu Hanifah) *Al-Fullani dalam “Al-Iqazh”
Berkata Al-Albani, “Sebagian syeikh yang taqlid lantas menisbatkankannya kepada Abu Hanifah ketika saya mengingkari fatwa-fatwa mereka dengan mengambil perkataan Abu Hanifah yang belum diketahui dalilnya.”
Padahal, dalam sebuah riwayat, Imam Abu Hanifah berkata, “Kasihan engkau hai Ya’qub (Abu Yusuf). Jangan engkau tulis setiap yang engkau dengarkan dariku, karena bisa jadi aku berpendapat dengan suatu pandapat hari ini, namum aku meninggalkannya esok. Kadangkala aku berpendapat dengan suatu pendapat esok, namun saya meninggalkannya lusa.”
Al-Albani berpendapat, “Apabila demikian udzur Abu Hanifah pada beberapa masalah, di mana beliau menyelisihi hadist-hadist sahih tanpa adanya kesengajaan, Allah tidak membebani seseorang kecuali semampu usahanya. Maka tidak diperkenankan mencela beliau dikarenakan hal tersebut, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang bodoh. Di samping itu, tidak boleh bagi orang yang mengagungkan beliau untuk bernaung dan berpegang teguh dengan segala perkataannya yang bertentangan dengan hadist-hadist sahih.”
B. Tinjauan terhadap Imam Malik bin Anas (Imam Mazhab Maliki)
“Sesungguhnya saya hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah pendapatku. setiap pendapat yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, ambillah, dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Imam Malik Bin Anas) *Ibnu Abdi Al-Barr dalam kitab Al-Jami’, Ibnu Hazm dalam Ushul Al-Ahkam.
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan.” (Imam Malik Bin Anas) *Ibnu Abdi Al-Hadi dalam Irsyadu As-Salik, Ibnu Abdi A-Barr dalam Al-Jami’, Ibnu Hazm dalam Ushul Al-Ahkam, Abu Daud dalam Masa’ilu Al-Imam Ahmad.
C. Tinjauan terhadap Imam Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
“Tidak ada seorang pun, kecuali dia harus bermazhab dengan sunnah Rosulullah dan mengikutinya. Apapun yang saya ucapkan atau saya tetapkan tentang sebuah kaidah dasar sedangkan sunnah Rosulullah bertentangan dengan ucapanku, maka yang diambil adalah sabda Rosulullah, dan pendapatku juga seperti itu.” (Imam Syafi’i) *Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq, Riwayat Al-Hakim dengan sanad yang sampai kepada Syafi’i, Al-Fullani dalam “Al-Iqazh”, Ibnu Al-Qayyim dalam “I’lamu Al-Muwaqi’in”.
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah terang baginya Sunnah Rosulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ingin mengikuti perkataan seseorang.” (Imam Syafi’i) *Al-Fullani dalam “Al-Iqazh”, Ibnu Al-Qayyim dalam “I’lamu Al-Muwaqi’in”
“Apabila kalian mendapatkan di kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rosulullah, maka jadikanlah sunnah Roulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Imam Syafi’i) *Al-Harawi dalam Dzammu Al-Kalam, Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj bi Asy-Syafi’i, Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq, An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Al-Fullani dalam “Al-Iqazh”, Ibnu Al-Qayyim dalam “I’lamu Al-Muwaqi’in”.
“Apabila hadist itu sahih, maka dia adalah mazhabku.” (Imam Syafi’i) *An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Al-Fullani dalam Al-Iqazh, Asy-Sya’rani.
“Engkau (Ahmad bin Hanbal) lebih tahu dariku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalul Hadist). Apabila hadist itu sahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apa pun adanya, baik ia dari Kufah, Basrah, Maupun Syam. Apabila ia sahih, aku akan bermazhab dengannya.” (Imam Syafi’i) *Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad, Ibnu Qayyim dalam Al-I’lam, Al-Fullani dalam Al-Iqazh.
“Setiap Masalah yang sahih dari Rosulullah bagi ahlu naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku merelatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Imam Syafi’i) *Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Ibnu Qayyim dalam I’lamu Al-Muwaqi’in, Al-Fullani, Al-Harawi.
“Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist nabi yang shahih bertentangan dengannya, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermazhab dengannya.” (Imam Syafi’i) *Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adab Asy-Syafi’i, Abu Al-Qasim As-Samarqandi dalam kitab Al-Amali, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah.
“Apapun yang aku katakan, kemudian terdapat hadist shahih dari Nabi yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadist Nabi adalah lebih utama. Olehnya, Janganlah kalian taqlid padaku.” (Imam Syafi’i) *Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim, dan Ibnu Asakir dengan sanad sahih.
“Setiap hadist dari Nabi maka dia adalah pendapatku, walaupun kalian belum pernah mendengarnya dariku.” (Imam Syafi’i) *Ibnu Abi Hatim
Ibnu Hazm berkata, “Sesungguhnya, para ahli fiqih yang ditaqlidi itu adalah orang-orang yang membatalkan taqlid. Mereka telah melarang sahabat-sahabat mereka untuk bertaqlid kepada mereka. Yang paling keras di antara mereka adalah syafi’i. Beliau benar-benar telah menegaskan untuk mengikuti atsar-atsar yang sahih dan berpegag kepada apa-apa yang diwajibkan oleh hujah. Hal seperti ini belum pernah dilakukan oleh selainnya. Ia berlepas diri dari taqlid secara umum, dan telah mengumumkan hal itu. Semoga Allah memberikan manfaat dengannya dan memberikan pahala yang besar kepadanya. Demikian itu telah menjadi penyebab adanya kebaikan yang banyak.”
Taqiyuddin As-Subki dalam “Ma’na Qaul sy-Syafi’i….Idzaa Shahha Al-Hadits” mengatakan, “Menurut saya, yang lebih utama adalah mengikuti hadist, dan orang itu menempatkan dirina seakan-akan berada di hadapan Nabi, dan mendengar hadist itu dari beliau. Apakah ada kelapangan baginya untuk tidak mengamalkannya? Tidak, demi Allah…. Dan setiap orang dibebani sesuai jangkauan pemahamannya.”
Disebutkan dalam kitab Al-Manaqib karya Ibnu Jauzi, bawha Imam Ahmad adalah salah seorang Imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga beliau paling benci penulisan buku-buku yang memuat masalah-masalah Fiqih Furu’iyah dan Ar-Ra’yi.
“Janganlah engkau taqlid kepadaku. Jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, maupun Ats-Tsauri. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Imam Ahmad bin Hanbal) *Ibnu Qayyim dalam Al’I'lam, Al-Fullani.
“Janganlah engkau taqlid dalam perkara agamamu kepada salah seorang dari mereka. Setiap perkara yang sandarannya kepada Nabi dan para sahabat beliau, maka ambillah. Jika berasal dari tabi’in, maka seseorang dapat memilih.” (Imam Ahmad bin Hanbal) *Riwayat Abu Dawud dalam Masaail Al-Imam Ahmad.
“Makna Al-Ittiba’ yaitu seseorang mengikuti apa saja yang berasal dari Nabi dan para sahabat beliau. Adapun yang berasal dari generasi tabi’in, maka dia boleh memilih.” (Imam Ahmad bin Hanbal) *Riwayat Abu Dawud dalam Masaail Al-Imam Ahmad.
“Pendapat Al-Auza’i, Malik, serta Abu Hanifah, semuanya adalah pendapat. Bagiku semuanya sama adanya. Adapun Al-Hujjah hanya ada pada atsar-atsar Nabawiyah.” (Imam Ahmad bin Hanbal) *Ibnu Abdi Al-Barr dalam Al-Jami’.
“Barangsiapa yang menolak hadist Rosulullah, maka sesungguhnya ia telah berada di tepian kehancuran.” (Imam Ahmad bin Hanbal) *Ibnu Al-Jauzi.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Wajib bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rosulullah dan dia telah mengetahuinya, untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya, walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat ulama yang diagungkan. Karena, perintah Rosulullah lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibanding pendapat ulama besar mana pun yang menyalahi perintah beliau dalam beberapa perkara, di mana pendapat ulama terkadang keliru. Dari sini terlihat betapa para sahabat dan generasi setelah mereka menolak setiap orang yang menyelisihi As-Sunnah yang shahi dan tidak jarang mereka berlaku keras dalam penolakan ini.”
Al-Albani berkata, “Walaupun yang mereka selisihi adalah orang tua dan ulama-ulama mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Syarah Ma’ani Al-Atsar dengan sanad yang kesemua perawinya tsiqah, dari Salim bin Abdullah bin Umar, ia berkata, ”Suatu ketika aku duduk bersama Ibnu Umar di masjid. Tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki dari penduduk Syam, lalu bertanya kepadanya tentang tamattu’ (memisahkan haji dan umrah) di dalam umrah ke haji. Ibnu Umar berkata, “Itu adalah amalan yang baik lagi bagus.” Laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya bapakmu pernah melarang. Ibnu Umar berkata, “Celakalah engkau! Walaupun bapakku melarangnya, namun Nabi telah melakukannya dan memerintahkannya. Apakah engkau akan mengambil pendapat bapakku atau perintah Rasulullah?!” Laki-laki itu menjawab, “Dengan perintah Rosulullah.” Ibnu Umar berkata, “Pergilah dariku.” Ahmad meriwayatkannya (no. 5700), serta At-Tirmidzi (Syarah At-Tuhfah) dan ia mensahihkannya.”
Oleh Ibnu asakir dari Ibnu Abi Dzi’b, dia berkata, “Bahwasanya Sa’ad bin Ibrahim (yakni Ibnu Abdurahman bin Auf) mengadili seorang laki-laki dengan pendapat Rabi’ah bin Abi Abdurrahman. Kemudian Rabi’ah memberitahukan kepadanya sebuah sunnah dari Rosulullah, yang bertentangan dengan apa yang telah dihukumkan oleh Sa’ad. Kemudian Sa’ad berkata kepada Rabi’ah, “Inilah Ibnu Abi Dzi’ib (bagiku, dia adalah perawi yang tsiqah) dia menceritakan kepadaku suatu hadist dari Nabi yang bertentangan dengan apa yang aku kemukakan.” Rabi’ah berkata kepadanya, “Engkau telah ber-ijtihad dan hukummu telah lebih dahulu.” Sa’ad berkata, “Sungguh mengherankan! Apakah aku akan memberlakukan putusan Sa’ad dan tidak memberlakukan putusan Rosulullah?! Bahkan aku akan menolak putusan Sa’ad bin Ummi Sa’ad dan melaksanakan putusan Rosulullah.” Kemudian Sa’ad mengambil surat keputusan hukum beliau, lalu merobeknya dan memberitahukan putusan yang baru ini kepada orang tersebut.” *Disebutkan oleh Al-Albani dalam Sifat Sholat Nabi.
Tatkala Al-Muhaqqiq (pentahqiq) Ibnu Daqiq Al-’Ied mengumpulkan beberapa masalah di mana mazhab para imam yang empat menyalahi hadist yang sahih (baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama) di dalam suatu kitab yang tebal, beliau berkomentar, “Sesungguhnya penisbatan masalah-masalah ini kepada para Imam Mujtahidin adalah haram. Bahkan wajib atas setiap ahli fiqih yang mengikuti mereka mengetahuinya, jangan sampai menisbatkan permasalahan tersebut kepada mereka, yang pada akhirnya berbuat dusta kepada mereka.” *Disebutkan oleh Al-Fullani dalam kitabnya.
COPY-PASTE DARI :
http://nur-muslim.blogspot.com/2011/04/imam-4-mahzab-tetnang-taqlid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar