ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

YAA ALLAH DENGAN PERTOLONGANMU KAMI MEMOHON
BERILAH KAMI KEKUATAN LAHIR DAN BATHIN UNTUK MAMPU MERAIH RIDLAMU..

Senin, 27 Juni 2011

RAHASIA KESAKTIAN ILMU HITAM DAN ILMU PUTIH (sama-sama sesatnya)


(dikutip dari : http://feehas.wordpress.com/)

DITULIS OLEH AHMAD ZAIN AN NAJAH, MA DI KAIRO MESIR.
Di akhir kepemimpinan presiden Soeharto, terjadi pembantaian ulama dan kyai di daerah Jawa Timur. Tragedi pembantaian tersebut masih belum sirna dari ingatan kita. Sebagai kaum muslimin , banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran . Namun pada tulisan ini, ada point penting yang mungkin belum tersentuh oleh banyak pengamat. Masalah tersebut adalah ilmu putih, sebuah ilmu unik yang yang dimiliki oleh beberapa kyai di tanah Jawa , ilmu ini sering digunakan ketika terjadi bentrokan antara kelompok hitam ( para penjahat ) dan kelompok putih ( sebagian orang-orang pesantren )
Bagi kita kaum muslimin, sudah sepakat bahwa ilmu hitam merupakan bagian dari alam hitam yang tidak boleh didekati. Tapi untuk ilmu putih, sebagian kaum muslimin Indonesia masih menganggapnya suatu ilmu biasa, yang setiap orang boleh mempelajarinya. Alasan mereka, bahwa ilmu putih adalah ilmu untuk menegakkan kebenaran, membela yang lemah dan menjaga diri dari serangan- serangan orang-orang jahat. Mereka tidak mau tahu bagaimana cara- cara mendapatkan imu putih tersebut, atau mungkin sebagian dari mereka memang tidak tahu cara- cara tersebut. Bagi mereka, sesuatu yang dikerjakan oleh kyai atau orang alim yang mereka segani, adalah sah- sah saja. Sampai sekarang-pun kebanyakan dari kita, khususnya yang bergelut dibidang ilmu- ilmu syareah, ataupun ilmu-ilmu eksata, tidak mengetahui istilah ilmu putih tersebut. Paling jauh, yang kita dengar hanya sebatas berita atau kisah seorang kyai yang mampu mengetahui orang yang mencuri dengan cara melihat dari sebuah bejana yang berisi air yang sudah dibacakan doa-doa tertentu, bisa menangkal tenun, santet dan sihir dll.
Jadi ilmu putih itu hakikatnya seperti apa ? Apakah ilmu tersebut merupakan salah satu ilmu yang Islam telah memerintahkan umatnya untuk mencarinya, walaupun sampai ke negeri Cina ? ataukah dia termasuk ilmu hitam yang untuk mendapatkannya harus dengan bantuan jin ? atau ilmu yang menggabungkan ajaran- ajaran Islam dengan bantuan jin dan roh- roh halus lainnya ?
Antara Karomah dan Ilmu Putih
Kalau kita runtut Sejarah Islam –khususnya pada periode pertama dulu yaitu pada masa keemasannya- yang penuh dengan kemenangan dan kejayaan, akan sulit kita dapati, bahkan mungkin tidak ada seorang sahabat dan tabi’in memiliki ilmu putih, seperti sekarang ini, apalagi ilmu hitam. Mereka hanya mengandalkan apa yang mereka dapatkan dari Rosulullah saw dengan berpedoman Al Quran dan Hadits saja, …tidak lebih dari itu. Tapi mereka mampu menaklukan dua ngara super power pada waktu itu ( Romawi dan Persia ), mereka mampu berkuasa dan menebarkan keadilan di alam ini .
Secara aklamasi para ahli sejarah menyatakan bahwa kemenangan- kemenangan yang diraih umat Islam pada waktu itu merupakan keajaiban dunia yang belum pernah terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Bagaimana tidak, bangsa Arab, bangsa pengembala kambing di tengah-tengah lautan padang pasir yang sangat panas, tak pernah dilirik sedikitpun, bahkan dipandangnya dengan sebelah mata oleh bangsa- bangsa besar pada waktu itu, tiba-tiba muncul hanya dalam waktu 10 tahun , mampu menaklukkan dua Imperium yang telah membangun kekuasan mereka selama ratusan tahun lamanya. Hanya dengan keimanan yang benar dan kuat saja, akan muncul karomah- karomah dan hal-hal yang luar biasa, yang jauh kewajaran manusia.
Dan itu semua merupakan bentuk pertolongan Allah kepada hamba-hambaNya yang taat dan konsisten serta istiqomah. Ini juga terjadi pada diri para sahabat secara individu, seperti halnya tongkat kayu milik seorang sahabat yang bernama Usaid bin Hudair yang bisa memancarkan sinar benderang di tengah-tenah kegelapan . Juga terjadi pada diri Abu Muslim al Khulani, yang dilempar oleh Aswad Al ‘Insi ( pemimpin kaum murtad ) ke api yang membara, kemudian bisa keluar darinya dengan selamat tanpa cacat sedikitpun, juga terjadi pada diri ‘Alak al Khudrami yang mampu berjalan di atas air ketika menyeberang lautan untuk menaklukan pasukan musuh yang ada di negri seberang.
Karomah-karomah semacam itu, juga terjadi pada orang-orang sholeh sebelum kedatangan nabi Muhammad saw, seperti apa yang dialami Maryam, yang mengandung tanpa tersentuh oleh seorang laki-laki, dan selalu mendapatkan makanan di mihrabnya, tanpa seorangpun tahu dari mana asalnya. Begitu juga yang dialami Ashabul Kahfi yang tidur lebih dari 300 tahun lamanya. Semua itu terjadi pada diri mereka tanpa sengaja, itu hanyalah semata-mata pemberian dari Allah swt, karena keimanan dan keistiqomahan mereka terhadap ajaran- ajaran Allah. Intinya , kehebatan-kehebatan mereka itu bukan karena mereka memiliki ilmu putih, sebagaimana yang sering dibanggakan oleh sebagian orang Islam zaman sekarang.
Beberapa Contoh Ilmu Putih
Masalah Ilmu Putih ini, mengingatkan penulis pada cerita seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa pamannya dahulu pernah mempunyai ilmu putih, kemudian dia bertaubat dan meninggalkannya, kata pamannya : “ ilmu putih itu sebenarnya sama dengan ilmu hitam , cuma bedanya ilmu hitam digunakan untuk kejahatan sedang ilmu putih digunakan untuk kebaikan “ Bahkan, kita dapatkan sebagian orang yang sering disebut kyai, justru menggunakan jalan yang tidak pernah diajarkan oleh Rosulullah saw untuk mendapatkan ilmu putih semacam ini. Pada musim haji sekitar tahun 1995, kebetulan penulis bertemu dengan penyuluh agama ( mursyid haji ) di salah satu rombongan haji dari Jawa Tengah. Dia dipercaya oleh jama’ah karena berkali-kali pernah naik haji. Dia pernah berkata : “ kalau saya dihadapkan pada suatu masalah, maka saya tidak akan bertindak sampai ada sesuatu yang membisikkan di telinga saya “ . Mendengar pernyataan itu, penulis bertanya : “ Gimana caranya pak, untuk bisa seperti itu ? “. “ Kita harus bisa makan nasi putih saja, selama beberapa hari tanpa lauk dan sayur “ , jawabnya santai.
Ajaran Islam mana, yang menyuruh seseorang hanya makan nasi putih saja . Mungkin banyak umat Islam yang akan keluar dari Islam kalau mereka hanya dibolehkan makan nasi putih saja, tanpa lauk dan sayur. Kasihan bapak ini , naik haji berpuluh- puluh kali , tapi tidak memahami bahwa haji merupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan terhadap ajaran-ajaran Allah, dengan tanpa menambah – nambahnya dengan selera akal dan nafsunya.
Bertepatan itu pula beberapa saat yang lalu, ada seorang pelajar Malaysia mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Jawa asli, katanya, neneknya menganjurkan kepadanya untuk puasa “mutih “ ( bukan puasa putih lho ). “ Menurut anda puasa mutih itu apa ? “ , tanya penulis. “ Puasa mutih itu berpuasa dalam beberapa hari dan tidak berbuka kecuali dengan nasih putih “, jawabnya.
Penulis juga pernah membaca makalah yang berjudul “ Ilmu Estu Pamungkas “ , suatu ilmu yang salah satu cara untuk mendapatkannya harus berpuasa mutih selama beberapa hari dan beberapa malam, dan dia hanya diperbolehkan makan dan minum air putih satu kali saja dalam sehari semalam, yaitu pada waktu tepat tengah malam. Setelah melakukan aksi puasa, maka dia dituntut satu hal lagi, yaitu untuk melakukan puasa ngebleng selama beberapa malam. Puasa ngebleng ini berbeda dengan puasa Pati Geni. Kalau Pati Geni , seseorang harus berdiam diri di suatu kamar yang tertutup tanpa ada seleret sinarpun yang masuk kedalam kamar. Selama itu pula dia tidak boleh buang kotoran, buang air kecil, makan, dan minum. Tetapi pada puasa ngebleng boleh terdapat sinar yang masuk, hanya kita dilarang keluar kamar sebagaimana Pati Geni, serta tidak boleh makan, minum maupun buang air besar maupun kecil selama dia melakukan hal itu.
Konon orang yang memiliki ilmu Estu Pamungkas ini juga memiliki larangan dan pantangan, diantara adalah : tidak boleh takabur (sombong) serta mempergunakan ilmu ini untuk merugikan orang lain, seperti merusak rumah tangga orang lain, serta dilarang keras menggunakan ilmu tersebut setiap waktu. Dari keterangan diatas, nampaknya secara sekilas Ilmu Estu Pamungkas ini adalah Islami, karena mengajarkan untuk berpuasa dan melarang untuk mengganggu orang lain serta tak boleh takabbur.
Tapi di sisi lain, kita daptkan bahwa cara yang dipakai adalah cara-cara misterius, puasa mutih dan nasi putih. Makanya, lebih tepat kalau amalan- amalan ini kita sebut “ talbis al-haq bi al-bathil “ ( salah satu bentuk mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan ).
Talbis seperti ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan agama Islam, karena banyak orang awam yang terkecoh kepada suatu amalan, yang kelihatannya baik, padahal sebenarnya adalah ajaran gado-gado dari berbagai keyakinan dan aliran kepercayaan.
Waktu terjadi pembantaian kyai oleh para ninja, salah satu mahasiswa yang kebetulan sedang berada di Indonesia, tepatnya di salah satu pesantren yang sedang diincar, mengatakan : “ Salah satu dari kyai menyuruh seseorang untuk mengejar ninja yang sedang bersembunyi di kuburan…. agar para ninja tersebut takut dan lari terbirit- birit, maka orang yang akan mengejar tadi harus telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun di atas tubuhnya, lantas aja pengejar tersebut menurut nasehat kyai tadi, telanjanglah dia, dan ternyata benar, ketika para ninja tersebut melihat orang telanjang langsung kabur ambil langkah seribu.“
Penulis jadi geli dan risih mendengar cerita tersebut, dari mana orang tadi mengetahui kalau telanjang bulat itu membuat ninja takut ? Kalau di Mesir , orang yang berbuat seperti itu ( bertelanjang ria ) , justru akan menjadi tontonan anak kecil. Macam- macam saja orang Islam zaman sekarang ini, benarlah apa yang di predeksikan Rosulullah saw, bahwa salah satu tanda akhir zaman, adalah dihapusnya ilmu syare’ah dengan meninggalnya para ulama yang konsisten dengan ajarannya, kemudian digantikannya dengan orang-orang bodoh dan aneh-aneh. Sehingga yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.
Salah satu masalah yang sering ditanyakan kepada penulis, adalah operasi memburu pencuri dengan metode baru ( yang sebetulnya sudah kuno ), dan mungkin belum pernah dilakukan oleh badan intelejent manapun juga, yaitu melalui bejana air yang di bacakan doa atau mantera, dan banyak dipraktekan di beberapa tempat. Bahkan disana ada sebuah ilmu yang bernama “ Aji Tunggeng Mogok “ sebuah ilmu yang bisa membuat pencuri terpaku ditempat. Di dalam buku-buku hadits “kutubus sittah “ ataupun “kutubut tis’ah”, tidak didapati hadits yang menyebutkan do’a untuk menangkap pencuri, atau supaya pencuri terpaku ditempat. Kalau untuk membentengi diri dari Jin dan syetan, atau mengusir jin yang bercokol di dalam tubuh atau di rumah, atau menolak bala’, sihir dan santet , itu memang banyak dan sangat di anjurkan dalam Islam.
Dengan membaca Ayat Kursi umpamanya, atau membaca dua ayat di akhir surat Al Baqarah, atau membaca mu’awadzatain ( surat Al-Falaq dan Surat An-Nas ) , atau membaca dzikir pagi dan petang , atau membaca surat Al Kahfi setiap Jum’at, dn lain- lainnya yang jelas- jelas diajarkan oleh Islam dan termaktub di dalam buku-buku hadits. Kenapa bukan itu saja yang dipraktekan dan diajarkan kepada umat Islam ? apakah belum cukup apa yang diajarkan oleh Rosulullah saw, sehingga harus mencari ajaran-ajaran baru yang kita belum tahu sumbernya dan belum jelas kebenarannya.
Kalau terbukti bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak terdapat dalam ajaran Islam , maka seorang muslim tidak boleh ikut-ikutan, walaupun yang mengerjakan itu seorang kyai. Seorang kyai tidak bisa dijadikan standar, karena dia tidak maksum. Allah berfirman :
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر الفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا
“ Janganlah engkau mengikuti (sesuatu amalan ) yang engkau tidak mengetahui hakikatnya. Sesungguhnya pendengran, penglihatan dan hati ini akan dimintai pertanggung jawabannya “ ( QS. Al Isra’ : 36 )
Ada sebuah cerita menarik yang pernah dimuat salah satu mass media terkenal. Di sebuah daerah di pulau Jawa bagian Timur, ada seorang kyai yang disegani masyarakat. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ahli ibadah, tapi juga memiliki berbagai kelebihan. Ia mampu berjalan di atas air, dan kebal senjata tajam. Di luar dugaan, ia meninggal dunia dalam keadaan tragis, sekujur tubuhnya merah kehitam-hitaman. Ia menjerit-jerit seperti serigala. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir ia sempat bertutur, bahwa untuk memiliki berbagai “kesaktian” itu, ia harus melakukan transaksi dengan jin. Bentuk transaksi itu sangat sederhana. Setiap malam Jum’at, tepat pukul 12.00 malam, ia harus melakukan hubungan badan dengan jin. Na’udzubillahi min dzalik.
Bahkan yang lebih mengerikan lagi dan membuat setiap orang Islam bulu kuduknya berdiri, apa yang pernah diceritakan orang yang sangat dekat dengan penulis, dan dia mendapatkannya dari seorang anak Kyai di salah satu daerah pulau Jawa. Di daerahnya tersebut, terdapat seorang Kyai yang terkenal sangat dermawan dan baik sekali, bahkan dia mengajarkan kepada anaknya perbuatan-perbuatan yang baik, namun yang menjadi pertanyaan kenapa ketika dia meninggal dunia tidak nampak dalam dirinya tanda-tanda khusnul khotimah, justru yang terdengar adalah jeritan histeris yang keluar dari mulutnya di saat-saat dia menghembuskan nafasnya yang terakhir ? Tak pelak, anaknya yang sudah lama terdidik dengan kebaikan-kebakan itu menjadi heran dan bertanya-tanya , kenapa hal itu terjadi ? Dia teringat bahwa di salah satu sudut rumahnya ada sebuah kamar yang selama ini, dia dan keluarganya tidak boleh tahu apa yang ada dalamnya. Karena penasaran, di dobraklah pintu kamar tersebut…” astaghfirullah ……!!!!!!!!! betapa terkejutnya anak Kyai besar tadi, di dalam kamar kecil yang angker itu ternyata adalah sebuah WC dan mushaf Al-Quran yang di penuhi dengan tahi. La haula wala quwwata illa billah….Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari syetan yang terkutuk.
Kalau cerita diatas benar, maka jelas bahwa kyai itu telah murtad dan kafir karena dia menyembah syetan dan menghina kitab suci yang dimuliakan oleh kaum muslimin .
Al Qur’an dan Hadits Sumber Kemuliaan
Sangatlah tepat apa yang dikatakan Umar bin Khottob, ra — sahabat Rosulullah saw yang terhebat setelah Abu Bakar As-Siddiq ra — : “ Kita telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka barangsiapa yang mencari kemulian selain Islam, maka Allah akan menghinakannya “ Benar,…Allah telah memuliakan Umar dan para sahabat yang mengikuti petunjuk Islam, Allah telah memuliakan mereka dengan keimanan dan kekuasaan yang mempunyai wilayah sangat luas, bukan hanya Imperium Persi dan Romawi saja yang ketakutan dengan mereka, bahkan syetanpun lari terbirit- birit ketika bertemu dengan Umar….Subhanallah !!!. Maka barang siapa diantara umat Islam yang yang mencari kemulian dan kesaktian melalui Syetan dan Jin, bukannya kemulian yang mereka dapatkan, tapi kehinaan di dunia , mereka hidup dibawah ketiak Syetan dan Jin , dan diinjak-injak serta ditindas oleh penguasa- penguasa kafir ( sebagai syetan-syetan manusianya ) …dan di akhirat akan mendapatkan adzab yang pedih…na’udzubillahi min dzalik. Maha Benar Allah di dalam Firman-Nya :
أيبتغون عندهم العزة ، فإن العزة لله جميعا
“ Apakah mereka ( orang-orang munafik) mencari kekuasan dan kemulian dari sisi mereka. Sesungguhnya kemulian hanya ada di sisi Allah semata. “ ( Qs. An Nisa’ : 139 )
بل كانوا يعبدون الجن أكثرهم بهم مؤمنون
“ …Bahkan mereka menyembah jin dan kebanyakan mereka beriman kepada jin tersebut ( QS Al Saba’ : 41 )
Umat Islam Indonesia – khususnya daerah Jawa- hendaknya kembali kepada ajaran Islam yang asli, yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits serta petunjuk para sahabat, dan wajib meninggalkan ilmu-ilmu klenik yang hanya akan menambah kehinaan demi kehinaan. Tidak ada dalam Islam ilmu hitam, ilmu putih, ilmu hijau, ilmu biru, atau ilmu kuning, tapi hanya ada ilmu Al-Quran dan Hadits serta perangkat yangmendukungnya. Tiada pula ilmu aji tunggeng mogok, mantera pelet media rokok, ilmu kontak, ajian mahabbah, pengasih, ilmu debus, mantra guru sajab. Ilmu- ilmu semacam itu tiada lebih dari peninggalan ajaran- ajaran Hindu dan Budha yang dicampur adukkan dengan Islam sehingga menjadi sesat dan menyesatkan. Wallahu a’lam

http://metafisis.wordpress.com/2010/06/07/sang-kyai-dan-ilmu-putih/

Sabtu, 25 Juni 2011

Satukan Visi, Majelis Tarjih dan Tajdid Kumpulkan KBIH se-Indonesia

Yogyakarta- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Pengelolaan dan Bimbingan Ibadah Haji di Lingkungan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Indonesia (Semiloka KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah), pada hari Jum’at-Ahad, 22-24 Rajab 1432 H / 24-26 Juni 2011. Semiloka KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mengundang 50 lebih KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Indonesia ini diadakan di Balai Diklat Industri Yogyakarta, Jalan Gedongkuning Kotagede Yogyakarta. Selain itu, Semiloka KBIH juga mengundang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Hadir dalam Acara Pembukaan malam tadi (Jum’at, 24 Juni 2011) pukul 19.30 WIB, yaitu Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. H. Agung Danarto, M.A yang sekaligus menyampaikan sambutan dan membuka acara secara resmi, dan hadir pula Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.
Secara terpisah, Saptoni, S.Ag. M.A., selaku Sekretaris Panitia Penyelenggara menyampaikan bahwa Semiloka ini diadakan untuk beberapa agenda. Pertama, Majelis Tarjih berupaya menghilangkan atau setidaknya meminimalisir potensi perbedaan dalam pelaksanaan Manasik Haji yang masih sering terjadi bahkan dalam satu KBIH yang berada di bawah Muhammadiyah atau Aisyiyah. Kedua, Majelis Tarjih mengajak kepada pihak-pihak terkait untuk menangani KBIH secara lebih maksimal, salah satunya dengan cara membentuk badan atau lembaga formil yang mewadahi keberadaan KBIH.
Menuju Pengelolaan Yang Berorientasi Kemabruran
Semiloka KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang saat ini tengah berlangsung, menyajikan beberapa materi krusial.
Pertama, “Sharing dan Laporan KBIH”, yang menggambarkan kondisi riil KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah selama ini. Kedua, materi “Keorganisasian KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah: Manajemen, Struktur Organisasi, Visi Misi, Tugas dan Kewengangan”, yang dibawakan oleh H. Moh. Rizal Fadillah, S.H. dari Lembaga Haji Muhammadiyah Jawa Barat (PWM Jawa Barat). Ketiga, “Pembinaan Ibadah dan Jama’ah Haji”, yang disampaikan oleh H. Soeratman HM dari Lembaga Bimbingan Manasik Haji Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Keempat, “Akhlaqul Haj menuju Kemabruran Haji” oleh Drs. H. Muhammad Muqoddas, Lc. M.A.. Keempat, “Permasalahan-permasalahan dan jawabannya dalam Manasik Haji, yang disampaikan oleh Drs. H. Dahwan, M.Si.
Di samping itu, dalam Semiloka yang diikuti oleh lebih dari 100 orang ini dilaksanakan dua macam Sidang Komisi yang akan membahas persoalan secara lebih detail. Komisi A, membicarakan mengenai persoalan Keorganisasian KBIH Muhammadiyah dan Aisyiyah serta Komisi B, membicarakan mengenai model pembinaan ibadah dan jamaah yang berimplikasi pada kemabruran haji.
Hasil dari Semiloka ini nantinya akan dilaporkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar dapat ditindaklanjuti di kemudian hari.

Kamis, 23 Juni 2011

20 Kesalahan Dalam Beraqidah


Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.
Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.
Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.
1. Kesalahan memahami kalimat lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan Laa ilaahaillallah hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat. Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah. Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya.Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” QS. An-Nahl 36)
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.
2. Istihzaa’ (memperolok) perkara-perkara agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah n *) *)[lih. At-Tauhid oleh Shalih Fauzan hal.42]. berdasarkan dalil,
Katakanlah,”Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah: 65-66)
Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.
3.Ungkapan sebagian orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah,
“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.(QS Al-Furqan: 2 )
Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. *) *)[Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh Syaikh Shalih al-Utsaimin]
4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.
Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.
Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk : 2)
Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. *) *)[tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian]
5. Mengeluh dan mencela waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat.
Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth alaihis salam,
Ini adalah hari yang amat sulit”.. (QS. Huud : 77)
Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil,
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari”. (QS. Al-Faathir : 13)
Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan. *) *)[Untuk lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syeikh Salim Al-Hilali] Dalilnya,
Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.
Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan malam.” (HR. Muslim 5862)
Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan *) *)[Tentang celaan tidak hanya terbatas pada waktu saja, karena kita juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun hal. 156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah]
6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”
Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata,
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan kehormatannya.” (Shahih Muslim 2564)
Begitulah, Rasulullah mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”
Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah l berdasarkan sabda Rasulullah ,
Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” (HR. Muslim)
Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:
a. Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”
b. Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan.
Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah n dalam yang masyhur,
Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal.” (Shahih Jami’ 3024)
c. Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.
8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.
Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah l ,
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.(QS. Ar-Rahman : 26-27)
Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah l .
9. Salah memahami ‘Ibadah’. Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.
Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman”. (HR. Muslim)
Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at).
10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya.
Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah l,
“Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim”. (QS Luqman : 34)
Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.
Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut.
Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud z ,
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. (HR. Bukhari)
Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah l dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.
11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.
Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. *) *)[lihat Fathul Baari no. 6192, Muslim 2140]
12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah,
“Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a”. (Dihasankan oleh Al-Albani)
Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ,
Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” (HR Tirmidzi)
Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh Allah.
Dan Rabbmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”. (QS 40 : 60)
Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab,“Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah,
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya (QS Al-An’am: 116)
Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.
14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.
Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah k . Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah,
Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 22)
Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.
Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih g .
15.Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.
Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah.
Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,
Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.
Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz ãä menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”
16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.
17. Penulisan SAW untuk mempersingkat
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.
Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. “(Abu Daud)
Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.
18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”
Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Ta’ala) tanpa adanya harapan.
Berdasarkan sabda Rasulullah ,
Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…”(Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679).
Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah (khat) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.

19. Mencaci-maki syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi ,
Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya” (As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya).
Dan hadits yang lain,Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah n maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.” (Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237)*) *)[Ucapan “Celakalah engkau syaitan!” memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga dengan hal itu. red]
Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah.
20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam,
Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar“. (HR. Bukhari 5757, Muslim 2220)
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.
Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.

diambil dari majalah As-Sunnah – Solo; edisi 5 tahun 2002 “Amar Makruf Nahi Mungkar”, 

sumber : 

http://abunamira.wordpress.com/

Atasi Marahmu, Gapai Ridho Rabbmu

Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat.
Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan enggan untuk diselisihi keinginannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah[1].
Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya[2].
Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Artinya: jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka[3].
Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »
Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah[4].
Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allah Ta’ala, yang ini sangat sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia[5].
Imam al-Munawi berkata,“Makna hadits ini: orang kuat (yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan emosinya ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (hawa nafsunya)”[6].
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah”[7].
Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah U[8].
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »
Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya[9].
Imam ath-Thiibi berkata, “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,
{وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134)”[10].
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahnnya karena Allah Ta’ala[11], adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.
Seorang mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”[12].
Menahan marah adalah kunci segala kebaikan

Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab: “Janganlah engkau marah”[13].
Orang ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas dan menghimpun semua sifat baik, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya untuk selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama: “Janganlah engkau marah”. Ini semua menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya adalah penghimpun segala kebaikan[14].
Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”.
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal dan imam Ishak bin Rahuyah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”[15].
Maka perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas: “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (menahan kemarahan) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, merendahkan diri, sabar, tidak menyakiti orang lain, memaafkan, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan kemarahannya pada saat timbul sebab-sebab yang memancing kemarahannya[16].
Petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasi kemarahan ketika muncul pemicunya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memberi petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah Ta’ala[17], di antaranya:
1-
Berlindung kepada Allah Ta’ala dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad beliau berkata: “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela, salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat lehernya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”[18].
2-
Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah[19].
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”[20].
3-
Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain[21].
Dari Abu Dzar al-Gifari bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring”[22].
Di samping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah, yang ini akan menutup jalan-jalan setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan[23]. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah, maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Malik berkata kepadanya: Engkau wahai Amirul mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini? Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Malik? Lalu ‘Abdul Malik menjawab: Tidak ada gunanya bagiku lapangnya perutku (dadaku) kalau tidak aku (gunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan)[24].
Marah yang terpuji

Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”[25].
Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allah Ta’ala, yaitu marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allah Ta’ala dilanggar oleh manusia.
Inilah akhlak mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu ridha dengan apa yang Allah ridhai dalam al-Qur’an dan benci/marah dengan apa yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an[26].
‘Aisyah berkata: “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[27]. Dalam riwayat lain ada tambahan: “…Beliau marah/benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur’an dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’an”[28].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allah baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allah Ta’ala). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum/mencela orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya r, sebagaimana firman-Nya:
{قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرُكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ}
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman” (QS at-Taubah: 14-15)”[29].
Penutup

Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 28 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR Muslim (no. 2603). [2] Lihat kitab “Syarhu Riyaadhish shaalihiin” (1/107) dan “Bahjatun naazhiriin” (1/111).
[3]
Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 148).
[4]
HSR al-Bukhari (no. 5763) dan Muslim (no. 2609).
[5]
Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (16/162).
[6]
Kitab “Faidhul Qadiir” (5/358).
[7]
HSR Muslim (no. 2664).
[8]
Lihat kitab “Syarhu Riyaadhish shaalihiin” (1/305) dan “Bahjatun naazhiriin” (1/183).
[9]
HR Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), Ibnu Majah (no. 4186) dan Ahmad (3/440), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[10]
Dinukil oleh al-‘Azhiim Abadi dalam kitab “’Aunul Ma’buud” (13/95).
[11]
Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/111).
[12]
Kitab “ar-Risalatut tabuukiyyah” (hal. 33).
[13]
HSR al-Bukhari (no. 5765).
[14]
Keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 144).
[15]
Semua ucapan di atas dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 145).
[16]
Lihat keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 145).
[17]
Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 146) dan “Bahjatun naazhiriin” (1/112).
[18]
HSR al-Bukhari (no. 5764) dan Muslim (no. 2610).
[19]
Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 146).
[20]
HR Ahmad (1/239) dan al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 245), dinyatakan shahih dengan penguatnya oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 1375).
[21]
Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 146).
[22]
HR Abu Dawud (no. 4782), Ahmad (5/152) dan Ibnu Hibban (no. 5688), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani.
[23]
Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/112).
[24]
Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 146).
[25]
HSR al-Bukhari (no. 3367) dan Muslim (no. 2327).
[26]
Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 148).
[27]
HSR Muslim (no. 746).
[28]
HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 72).
[29]
Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 148).

sumber :
http://tentarakecilku.blogspot.com